Rupa Perempuan Dalam Revolusi Esok Pagi

Oleh: Rusdin Tompo 

Perempuan dalam Pameran Seni Rupa Revolusi Esok Pagi (REP) #6 bisa dilihat dalam 6 aspek: sebagai panitia, sebagai pengunjung pameran, sebagai penampil acara, sebagai narasumber dalam diskursus, sebagai objek dan inspirasi para perupa, dan sebagai perupa itu sendiri.

Sebagai pengunjung REP #6 yang dihelat di Kampus Institut Kesenian Makassar (IKM), mulai Sabtu-Rabu, 21-25 Juni 2026 ini, mereka cukup antusias. Ada yang terlihat cermat mengamati dan mengapresiasi karya-karya dalam bentuk lukisan, patung, maupun instalasi. Ada yang cuma sekadar menyalakan smarphone, lalu bergaya cute untuk berswafoto.

Sebagai panitia, peran perempuan ada di semua lini, mulai dari mempersiapkan konsumsi hingga promosi ke mitra. Sebagai penampil, perempuan jadi bagian dari pertunjukan. Sedangkan sebagai narasumber, ia ikut mewarnai wacana REP #6, yang pada tahun ini bertema “Post-Truth”.

Pameran REP #6 yang diinisiasi oleh art.fact.project, dengan semangat kolaboratif untuk membangun ekosistem senirupa ini, terlihat sangat beragam dari sisi karya, gaya, gagasan, teknik, materi yang digunakan, hingga pesan yang hendak disampaikan oleh masing-masing perupa.

Misalnya, pada “Politrik” yang merupakan karya A Muh Fatwa. Politrik adalah ilustrasi satir tentang era post-truth di mana kebenaran dibengkokkan oleh opini dan kepentingan kuasa. Figur utamanya ditampilkan seperti boneka cantik yang dikelilingi seliweran informasi. Seolah mencerminkan kebisingan narasi.

Seniman asal Gowa, yang menyukai anime ini, mengaku memang kerap menjadikan perempuan sebagai inspirasi dan objek karyanya jika ia mengikuti pameran. Dalam pameran ini, media karyanya berupa digital, clip studio paint, dan huion.

Lelaki yang biasa disapa Ipat ini, menampilkan realitas hidup kekinian, perilaku digital yang selalu terhubung dengan gawai dan teknologi komunikasi informasi.

Dia menganggap REP ini sebagai pameran serius, yang punya muatan pesan politik. Karena itu, dia mempersiapkan karyanya secara baik. Sejak awal, konsep karyanya dia pikirkan. Termasuk menggunakan scan barcode untuk bisa menikmati gambarnya. Lewat karya itu, dia mau mengingatkan, bahwa ada kuasa di balik fakta yang kita lihat.

Ipat sudah tiga kali mengikuti Pameran REP, di tahun 2022, 2023, dan 2025. Dia juga biasa ikut dalam pameran Behind in the Beauty, dan kegiatan komunitas Halaman Belakang.

BACA JUGA :   Peraturan Pemaksaan Tapera Kepada Pekerja Melanggar Konstitusi: Wajib Batal

Salah seorang seniman yang juga menampilkan paras perempuan adalah Armin Mustamin Toputiri. Politisi dan mantan anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan itu, menampilkan 4 perempuan mengenakan baju bodo, masing-masing dalam 4 bingkai berukuran 50×58 cm yang terpisah.

Walau terlihat ada 4 lukisan tapi, kata Armin, lukisan-lukisan itu punya satu rangkaian cerita. Judulnya, “Ada Dusta di Antara Kita”.

Lukisan seri ini menampilkan perempuan dalam ekspresi berbeda, saat dan setelah menerima kado. Begitu menerima kado, dia tampak senang dan gembira. Namun setelah kadonya dibuka dan dilihat isinya, ternyata tidak selalu sesuai harapan. Bahkan mungkin mengecewakan.

Ketua Panitia Pameran REP #6, Muh Fadly Saleh mengatakan, ada 51 perupa sebagai partisipan, yang menampilkan 63 karya, di mana 23 di antaranya berasal dari luar Makassar, seperti dari Yogyakarta, Kutai Kertanegara, Bangka Belitung, dan Polewali Mandar. Ada pula dari Bone, Enrekang, dan Takalar.

Prof Abd Azis Ahmad, Firman Djamil, AH Rimba, Jenry Pasassan, Lopmor, Prasetyo G, Daeng Malik, Makmun Amoeng, Muhammad Suyudi dan Zamkamil, merupakan deretan nama yang karyanya ikut dipajang. Zamkamil, juga bertindak sebagai kurator REP #6 ini.

Dalam REP yang sudah memasuki tahun ke-6 ini, dari segi jumlah partisipan perupa perempuan, terbilang lumayan dan membanggakan, yakni ada 8 orang.

Mereka adalah Jusbaeni asal Gowa, dengan dua karya cat airnya, masing-masing “Survival – Lakkang” dan “Hidden Face – Lab Kayu”.

Ada pula Dwi Wahyuni Hamka asal Makassar. Perempuan yang akrab disapa Uni ini menampilkan karya berjudul “Narasi Ilusi” dan “Fatamorgana Urban”. Dua karya yang hendak mengatakan bahwa pembangunanisme dengan mal nan megah, serta tambang yang mengeruk bumi, hanya ilusi bagi rakyat.

Masih ada lagi, Ika Tasarane, asal Makassar, yang menggunakan medium digital lewat karya “Ika, Berenang Melewati Waktu”.

Juga ada Zarinka Soiko, seniman kelahiran Ukraina, yang kini berdomisili di Bonehau, Sulawesi Barat, menampilkan karya berjudul “Seeing Without Seeing”. Dalam lukisannya acrylic/spray paint di atas kanvas itu, dia menampilkan wajah perempuan tapi tidak penuh.

BACA JUGA :   Dunia Pasca Presiden Donald Trump Dilantik

Dalam deskripsi karyanya, Zarinka menggambarkan wajah perempuan yang ditutupi tekstur dan dikelilingi mata-mata liar, merupakan metafora era post-truth.

Perempuan lainnya, Siti Chadijah Reski S, atau Khiki, memotret aktivitas pedagang jagung rebus di Takalar, dalam karya yang diberi judul “Jagung Rebus & Jalan Panjang”.

Masih ada lagi Siti Asmaulul Izmi, dengan karya cat air yang menghadirkan sengkarut kabel listrik, dan Faidhul Inayah yang menampilkan panorama alam.

Jusbaeni, Ika, Uni, Chadijah, dan Khiki merupakan seniman perempuan yang tergabung dalam Indonesia’s Sketchers (IS) Makassar.

Ekspresi ideologis dan suara gerakan perempuan paling tampak pada karya Desyynr, perupa asal Makassar, yang aktif di “Ba.i.ne”.

Karyanya, “Dalam Bayang-Bayang Kegelapan” berupa mix on canvas sangat jelas menggugat patriarki. Dua mata dengan bibir yang dijahit dan garis merah yang dihubungkan peniti bagai menyorot ketidakadilan gender yang dialami perempuan.

Domestifikasi, marginalisasi, beban berlapis, diskriminasi, stereotype dan segala konstruksi sosial yang dialami perempuan ditulis di atas kanvas seukuran 50×50 cm.

Di karyanya yang lain, “Suara yang Diabaikan”, Desyynr bermain-main dengan kolase yang ramai. Suara kaum perempuan terus dia teriakkan.

Gambar TV jadul dengan tumpukan judul-judul berita, menggambarkan dominasi wacana yang melanggengkan posisi laki-laki.

Judul-judul berita seperti “Indonesia Darurat Femisida”, “Mencari Ruang Digital Aman Bebas Diskriminasi dan Darurat KBGO”, dan “Peremouan Jadi Korban Berulang, Pelaku Masih Bebas” adalah sedikit contoh persoalan yang masih mengungkungi hidup perempuan.

Menariknya, jika rerata perupa dalam Pameran Revolusi Esok Pagi #6 ini mencantumkan harga karyanya. Desyynr justru memasang not for sale pada dua karyanya itu.

Seolah dia mau menegaskan bahwa REP #6 ini, baginya adalah ruang untuk mengkampanyekan kesetaraan dan keadilan gender. Bahwa seni adalah medium yang estetik untuk merevolusi cara pandang kita terhadap perempuan.

Penulis Adalah Pegiat Literasi, dan Koordinator SATUPENA Sulawesi Selatan

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI

error: Content is protected !!