Barangkali tidak pernah dibayangkan sebelumnya ketika masyarakat yang semula terbiasa berbelanja ke pasar dengan membawa uang Rp100.000 lalu tiba-tiba harus berubah menjadi hanya Rp100.
Atau, bayangkan suatu hari Anda membuka dompet dan melihat uang Rp1.000 berubah menjadi Rp1. Uang Rp10.000 menjadi Rp10, dan gaji Rp5.000.000 hanya tertulis Rp5.000.
Inilah situasi dan kondisi yang akan terjadi suatu saat ketika wacana redenominasi atau penyederhanaan mata uang rupiah benar-benar terealisasi.
Awalnya mungkin terasa aneh, seolah-olah nilai hidup ikut menyusut. Namun sebenarnya, bukan nilainya yang berkurang, melainkan angka nol di belakang yang dihapus demi menyederhanakan sistem keuangan.
Kalau dilihat, wacana penyederhanaan nominal uang bukan hal baru di Indonesia. Pemerintah dan Bank Indonesia sudah lama mengkaji langkah ini sebagai bagian dari reformasi sistem moneter menuju ekonomi yang lebih efisien, stabil, dan berdaya saing global.
Namun, wacana tersebut kini mendapat atensi luas mengingat psikologis sosial masyarakat Indonesia dalam memaknai rupiah sudah begitu kuat dengan angka nol yang bejibun.
Sehingga, ketika penyederhanaan itu dilakukan, maka bukan tidak mungkin Cultural Shock akan terjadi di kalangan masyarakat.
Lantas, bagaimana melihat hal ini lebih jauh?
Mengapa Redenominasi?
Pertanyaan pertama yang penting untuk diajukan yakni mengapa pemerintah perlu mengambil langkah redenominasi?
Perlu dicatat bahwa langkah penyederhanaan nominal ini bukan karena rupiah melemah, melainkan untuk meningkatkan efisiensi dan kredibilitas sistem keuangan nasional.
Saat ini, Indonesia tergolong salah satu negara dengan jumlah digit rupiah yang panjang dalam konteks nominal mata uang.
Bisa dibayangkan, satu cangkir kopi di kafe bisa dihargai dengan Rp25.000, satu hal yang nyaris tidak ditemukan di negara-negara dengan digit mata uang yang kecil.
Dari sisi psikologis dan transaksi, angka yang terlalu banyak nol tentu menyulitkan pencatatan, akuntansi, dan transaksi digital. Sebab, ada terlalu banyak angka nol yang disertakan di dalam perhitungan.
Karenanya, pemerintah bersama Bank Indonesia memandang redenominasi sebagai langkah modernisasi sistem moneter yang perlu untuk dilakukan.
Ketika nilai riil uang tidak berubah, yang dilakukan hanya menyesuaikan tampilan nominal agar lebih sederhana. Misalnya, Rp1.000 menjadi Rp1; Rp10.000 menjadi Rp10; dan Rp1.000.000 menjadi Rp1.000.
Jadi meskipun terjadi penyederhanaan angka nol, sejatinya nilai daya beli dan harga barang tetap sama karena semua nominal ikut menyesuaikan, baik gaji, harga barang, maupun tabungan.
Sementara, dari sisi ekonomi, langkah redenominasi tentu akan memberikan tiga manfaat utama. Pertama, sudah pasti memudahkan transaksi dan administrasi keuangan, terutama di sektor digital dan akuntansi bisnis internasional.
Kedua, meningkatkan citra rupiah di kancah global, sebab ketika langkah ini diambil maka akan berdampak pada perekonomian nasional. Ketiga, mendorong efisiensi psikologis dan logistik, seperti biaya pencetakan uang, sistem kasir, penghitungan pajak dan sebagainya.
Terkait urgensi, wacana redenominasi muncul dari arah kebijakan menuju Indonesia Maju 2045. Harus diakui bahwa dalam era ekonomi digital, kesederhanaan nominal sangat berpengaruh penting agar rupiah kompatibel dengan sistem keuangan global.
Namun, pemerintah tetap mempertimbangkan berbagai sisi sebelum keputusan ini diambil, seperti menunggu hingga kondisi ekonomi stabil, inflasi terkendali, dan masyarakat sudah memahami sepenuhnya konsep penyederhanaan nominal ini.
Menimbang Persepsi dan Psikologi Masyarakat
Ketika redenominasi benar-benar diterapkan, maka pengalaman sehari-hari masyarakat akan terasa sangat berbeda.
Mari kita bayangkan, harga makanan di warung yang biasanya Rp15.000 seketika akan turun menjadi Rp15.
Ongkos ojek yang mungkin tadinya senilai Rp10.000 berubah menjadi hanya Rp10. Lalu yang menarik lagi, uang receh Rp500 mungkin menyusut nominalnya menjadi Rp0,5.
Secara rasional, daya beli masyarakat tentu saja tidak berubah, namun dari sisi persepsi dan psikologis ikut berubah, dan perubahan ini bisa menimbulkan shock perseptual (reaksi individu terhadap kondisi yang secara signifikan berbeda dari ekspektasi atau pengalaman masa lalu mereka).
Bagi sebagian orang, angka yang lebih kecil bisa memunculkan rasa seperti uang begitu menjadi tidak berharga.
Tetapi, sebagian lain justru merasa bangga karena rupiah menjadi lebih sederhana seperti mata uang lainnya, katakanlah dolar atau euro.
Maka, kunci keberhasilan redenominasi bukan hanya pada regulasi, tetapi bagaimana publik menerima dan menyesuaikan persepsinya.
Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa perubahan besar dalam simbol nilai uang sering memengaruhi identitas ekonomi masyarakat.
Uang sekali lagi bukan sekadar alat tukar, melainkan simbol kedaulatan dan keamanan finansial. Saat Rp1.000 berubah jadi Rp1, masyarakat perlu diyakinkan bahwa nilai ekonominya tetap sama dan tidak berubah, kecuali digitnya yang berkurang.
Karena itu, peran komunikasi publik, edukasi media, dan simulasi transaksi menjadi sangat vital sebelum kebijakan diterapkan.
Seiring waktu, masyarakat akan mulai terbiasa bahwa Rp1 bukanlah suatu penyusutan nilai, melainkan penyederhanaan dari angka yang lebih besar.
Oleh: Yakub F. Ismail
Penulis adalah Ketua Umum Ikatan Media Online (IMO) Indonesia