Tafsir Sosial atas Fenomena ‘#KaburAjaDulu’

Oleh: Yakub F. Ismail

Fenomena trending tagar #KaburAjaDulu akhir-akhir ini sedang ramai diglorifikasi di berbagai platform media sosial.

Tidak jelas siapa yang menjadi aktor tunggal di balik fenomena sosial yang menyita atensi publik ini, namun dari berbagai hasil penelusuran ditemukan bahwa awal mula mencuatnya tren ini yakni dimotori oleh kalangan anak muda.

Saking viralnya fenomena tagar ini membuat sejumlah pejabat teras akhirnya ikut bersuara. Sebagian ada yang sinis menanggapi gejala sosial ini, namun ada juga yang menganggap hal ini sebagai bentuk otokritik terhadap kebijakan pemerintah yang tak kunjung memberi harapan kepada anak negeri.

Kendati tengah ramai diperbincangkan di dunia maya, maksud dari tagar tersebut masih multitafsir. Ada yang menggunakan tagar ini untuk berbagi pandangan dan pengalaman mengenai peluang di luar negeri, baik dalam hal studi, pekerjaan, maupun pengembangan diri.

Sementara, sebagian lainnya mengaitkan fenomena ini dengan keinginan generasi muda untuk mengeksplorasi kesempatan yang lebih luas di luar negeri.

Terlepas dari itu semua, beberapa hal yang melatari munculnya fenomena unik ini menarik untuk diulas lebih dalam.

Duka dalam Negeri

Tidak ada asap jika tak ada api. Demikian kata pepatah. Setiap sesuatu yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, apalagi kalau sesuatu itu sampai viral dan mengundang banyak atensi publik, tentu punya sebab musabab yang dapat ditelusuri asalnya.

Kaitannya dengan fenomena trending tagar #KaburAjaDulu, hal ini tentu tidak mungkin muncul secara tiba-tiba tanpa ada sebabnya.

Dan, jika ditelusuri lebih dalam, banyak faktor yang bisa dihubungkan sebagai akar pemantiknya. Sebut saja respons publik terhadap kondisi sosial-ekonomi akhir-akhir ini yang semakin rumit tidak hanya bagi kalangan bawah, melainkan juga dirasakan kelas menengah (middle class) di Indonesia.

Sulitnya mencari pekerjaan, biaya hidup yang tinggi, gaji pekerjaan yang tidak seberapa ditambah tekanan bonus demografi serta kebijakan pemerintahan Prabowo-Gibran terkait efisiensi anggaran yang membuat kondisi masyarakat semakin tercekik memicu gejolak sosial, salah satunya melalui kemunculan tagar #KaburAjaDulu ini.

Masalah kesulitan mencari pekerjaan, misalnya, saat ini angka pengangguran di Indonesia masih terbilang tinggi meskipun mengalami penurunan.

Merujuk data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran terbuka di Indonesia pada tahun 2024 mencapai 7,2 juta jiwa.

BACA JUGA :   Memahami Lingkungan Manajemen Keuangan Syariah

Menariknya, pemerintah sebagaimana dilansir dari Kompas (27/02/2024), gagal dalam menciptakan lapangan kerja di sektor formal untuk menyerap kelas menengah Indonesia yang terus bertambah.

Imbas dari kegagagalan tersebut, Jokowi di penghujung periode kedua masa pemerintahannya sempat memprediksi kalau peluang kerja akan datang semakin sulit (Tempo, 22/10/2024).

Diakui bahwa mayoritas angkatan tenaga kerja nasional 60 persen disumbang oleh sektor informal. Ini berarti kurang dari 50 persen tenaga kerja Indonesia yang benar-benar tergolong pekerja yang aman dan tercover segala jaminan sosialnya. Sementara, mayoritas pekerja berada dalam kerentanan dan ketidakpastian.

Di tengah kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang rentan dan keropos, apapun kebijakan yang ditempuh pemerintah tidak akan memberi dampak positif bila kebijakan itu sama sekali tidak mengubah kondisi riil sehari-hari mereka.

Apalagi, jika kebijakan itu justru semakin menimbulkan tekanan sosial seperti sulitnya mengakses pekerjaan dan kebutuhan sosial sehari-hari.

Jadi, semua ini harus dibaca sebagai refleksi atas kondisi sosial, politik dan ekonomi di Indonesia yang boleh jadi telah lama mencekik rakyat, hanya saja momentumnya baru menyeruak sekarang seiring dengan hadirnya sederet kebijakan yang mengundang pro-kontra di masyarakat.

Secercah Harapan

Apapun opini yang berkembang hari-hari ini dalam merespons gerakan sosial “KaburAjaDulu”, satu hal pasti bahwa itu merupakan bentuk ekspresi ketidakpuasan masyarakat atas apa yang dirasakan selama ini.

Mereka ingin mencari secercah harapan melalui seruan bertaruh nasib di negeri orang. Ajakan ini tentu bermakna positif dan negatif tergantung dari sudut mana kita membacanya.

Jika pembacaannya menggunakan perspektif nasionalisme, jelas gerakan ini sebagai bentuk protes sosial yang tidak mengindahkan rasa kecintaan terhadap tanah air.

Sebaliknya, jika perspektif yang digunakan adalah kritisisme sosial, maka fenomena ini dimaknai sebagai sebuah kritik sosial terhadap pemerintah yang dinilai kurang aware dan peka terhadap kebutuhan dan tuntutan rakyat.

Jadi, pandangan kita terhadap gerakan ini akan sangat bergantung pada sudut mana kita melihatnya.

Para penyeru gerakan sosial ini adalah mereka yang memiliki alasan tersendiri yang boleh jadi selaras dengan realitas yang terjadi belakangan ini, di mana kegagalan negara mengahadirkan lapangan pekerjaan, ekonomi masyarakat yang kian tertekan serta derasnya gelombang bonus demografi yang tidak terkelola dengan baik menjadi sumber penyebabnya.

BACA JUGA :   Kedatangan Tim Verlap Adiwiyata Mandiri KLHK di SD Negeri Borong Makassar

Pemerintah tentu akan membaca sinyal sosial ini sebagai alarm untuk kembali mereview sejumlah kebijakan yang barangkali belum menyentuh aspek kepuasan publik seperti pada kasus efisiensi anggaran dan penyediaan lapangan pekerjaan.

Sikap arif dalam merespons gerakan ini akan jauh lebih baik ketimbang memandangnya sebagai pengalih atau penganggu konsentrasi kebijakan.

Sebab, dalam perspektif kebijakan, sebuah kebijakan (publik) yang baik adalah yang muncul dari aspirasi masyarakat dan memiliki urgensi yang tinggi untuk segera diaktualisasikan.

Ambil contoh kasus kebijakan efisiensi anggaran yang rencana akan dilakukan dalam tiga tahap selama tiga tahun pertama.

Hal ini sebagaimana diungkapkan Prabowo dalam pidatonya di acara puncak Ulang Tahun ke-17 Partai Gerindra.

Dikatakan Prabowo, untuk putaran pertama penghematan anggaran sedang dilakukan senilai Rp 306,69 triliun. Penghematan penggunaan anggaran ini sebagaimana tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2025.

“Sementara putaran kedua Rp308 triliun. Jadi, totalnya kita punya anggaran Rp750 triliun,” kata Presiden dalam pidatonya.

Jika pada tahap kedua, penghematan menyasar pada penyisiran anggaran Kementerian/Lembaga yang kurang efisien, maka pada tahap ketiga akan dilakukan melalui BUMN dengan target dividen Rp300 triliun.

Rencananya dana penghematan anggaran ini akan diserahkan ke Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara).

Dalam konteks kebijakan efisiensi anggaran ini, saya secara pribadi sangat mendukung. Akan tetapi, dalam hal pengelolaan dan pemanfaatannya perlu dipikirkan matang.

Jangan sampai dana ratusan triliun itu hanya diendapkan begitu saja sebagai tabungan nasional tanpa pemanfaatan secara optimal pada sektor riil.

Padahal, jika anggaran sebanyak itu langsung digunakan untuk pembangunan dan pengembangan industri manufaktur yang mampu menyerap ribuan tenaga kerja formal, maka masalah pengangguran dan ketidakseimbangan antara pekerja di sektor formal dan informal bisa teratasi.

Sehingga, dengan begitu respons pemerintah terhadap tagar “KaburAjaDulu” benar-benar terjawab karena akan memberikan solusi nyata bagi persoalan yang sedang terjadi.

Penulis adalah Ketua Umum Ikatan Media Online (IMO) Indonesia

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI

error: Content is protected !!