Kabar tidak sedap kembali menyapa masyarakat Indonesia di tengah perang dagang yang digencarkan Amerika Serikat. Dengan alasan merugi akibat defisit perdagangan dengan para mitra dagang dari berbagai negara, AS akhirnya membuka jurus ampuhnya: perang tarif.
Belum lama setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan kebijakan penaikan tarif terhadap sejumlah negara di dunia beberapa bulan terakhir, kini muncul lagi kabar baru soal pemberlakuan tarif baru.
Pengumuman kali ini tidak disiarkan melalui media massa sebagaimana dilakukan di momen-momen awal, sekitar tiga bulan lalu.
Trump mengubah pola komunikasi tarif baru ini dengan cara one to one. Ini tentu memberikan dampak psikologis yang bukan main.
Sebab, Trump tidak lagi berbicara terbuka dengan mengirim sinyal tidak langsung kepada seluruh pemimpin negara yang dijadikan target pemberlakuan tarif barunya.
Kali ini, pria yang menggaungkan slogan Make America Great Again (MAGA) itu memberikan sodoran tarif baru itu melalui penyuratan langsung.
Khusus untuk Indonesia, surat pemberlakuan tarif baru ini ditujukan langsung kepada Presiden Prabowo Subianto pada Senin (7/7/2025). Surat itu berisi terkait kondisi perdagangan RI-AS.
Dalam suratnya, Trump menulis pihaknya akan menerapkan tarif hingga 32% kepada Indonesia mulai 1 Agustus 2025 mendatang. Hal ini disebabkan defisit perdagangan yang diderita Negeri Paman Sam, yang dikhawatirkan mengancam keamanan nasional.
Surat tersebut tentu saja menuai reaksi beragam oleh publik tanah air. Ada yang memaknainya secara wajar, namun tidak sedikit yang cemas lantaran efek domino yang ditimbulkan sangat signifikan terhadap ketahanan perekonomian nasional.
Dampak Tarif 32% terhadap Industri dan Ekspor Indonesia
Imbas dari pengenaan tarif sebesar 32% oleh AS terhadap sejumlah produk ekspor Indonesia tidak bisa dianggap remeh.
Ini merupakan alarm bagi semua pemangku kepentingan. Ini adalah sebuah guncangan sistemik bagi struktur ekspor nasional dalam beberapa waktu ke depan.
Seperti diketahui, Paman Sam adalah salah satu mitra dagang terbesar Indonesia, terutama dalam sektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, furnitur, hingga produk kerajinan.
Sebagai salah satu negara tujuan ekspor produk barang dalam negeri, AS memang menempati posisi penting dalam hubungan dagang Indonesia.
Sebab, AS merupakan negara kedua setelah Tiongkok dengan jumlah ekspor komoditas terbesar Indonesia. Jika, tarif bea masuk yang diterapkan AS terlampau tinggi, maka secara logika, barang-barang Indonesia yang masuk di AS menjadi lebih mahal di negara tersebut.
Dengan demikian, ketika bea masuk meningkat drastis, daya saing produk Indonesia di pasar AS mengalami tekanan serius, karena harus bersaing dengan produk-produk serupa yang datang dari negara lain.
Implikasi yang sudah bisa ditebak adalah para konsumen dan importir di AS akan melirik negara-negara lain seperti Bangladesh, Vietnam, atau Kamboja yang memiliki kesepakatan perdagangan preferensial dengan Paman Sam.
Apa yang terjadi kemudian di dalam negeri, adalah penurunan tajam volume perdagangan, penurunan pesanan, dan berkurangnya kontribusi devisa yang selama ini menopang stabilitas perekonomian negara.
Dampak negatif juga tidak terhenti di sana. Sektor ketenagakerjaan dalam negeri sudah otomatis menghadapi tantangan serius akibat tekanan yang dihadapi baik eksternal maupun internal.
Pekerja di sektor padat karya adalah yang paling terdampak dari kondisi ini. Sebab, perusahaan hanya mengandalkan tenaga manusia untuk memutar mesin produksi.
Dan mari kita berandai. Anggap hari ini industri tekstil dan alas kaki menyerap kurang lebih 4 juta tenaga kerja yang tersebar di seluruh Indonesia.
Jika situasi ini terus berlanjut dan di luar kendali, maka tidak ada yang bisa mencegah terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal akibat ketidakmampuan perusahaan membiayai seluruh pengeluaran produksi dan gaji karyawan.
Di samping industri tekstil dan alas kaki, sektor furnitur dan kerajinan juga selama ini berkontribusi besar dalam ekspor produk Indonesia ke sejumlah negara, terutama ke AS.
Siapapun tahu bahwa sektor ini berbasis pada usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan pengrajin lokal.
Ketika tarif yang dibebankan negara tujuan ekspor terlalu tinggi sehingga membuat harga jual produk tidak lagi kompetitif, maka risiko kerugian akan naik berlipat-lipat.
Dengan demikian, tarif 32% ini harus benar-benar disikapi dengan bijak dan butuh langkah konkret untuk menyisatinya. Ini bukan sekadar isu teknis perdagangan semata, melainkan sebuah ujian nyata terhadap perekonomian dalam negeri.
Antara Ujian Kemandirian dan Alarm Diplomasi Dagang
Situasi yang sedang terjadi ini memunculkan pertanyaan: apakah ini merupakan ujian untuk membuktikan kemandirian industri nasional, atau jangan-jangan sebagai alarm keras bagi lemahnya diplomasi dagang Indonesia?
Dari sisi kemandirian industri, tarif ini semestinya cukup memberikan sebuah pembuktian seberapa siap dan tangguh industri dalam negeri menghadapi tekanan yang begini dahsyat.
Bukan rahasia lagi bahwa kondisi internal industrial kita sejauh ini memang sangat rentan terjadi kolaps, meski tidak ada gangguan atau tekanan eksternal yang berarti.
Apalagi jika ditambah dengan pengenaan tarif tinggi AS yang notabene menjadi sala satu negara tujuan ekspor produksi. Jelas ini menambah kerentanan yang ada sehingga sulit dipastikan seberapa mampu industri dalam negeri bertahan di tengah badai besar ini.
Tarif 32% ini menjadi alarm keras bagi industri Tanah Air. Ia merupakan sebuah sinyal bahaya bahwa dunia tidak menunggu kita siap.
Tanpa diplomasi dagang yang tangguh, komoditas ekspor kita akan hancur lebur dan membawa dampak sistemik yang bakal meluluhlantakkan perekenomian nasional.
Guncangan besar terhadap perekonomian dalam negeri tidak lagi menjadi isu parsial. Ia akan datang dan menyapu seluruh rantai ekonomi dari hulu sampai hilir.
Sebab, dampak 32 persen tarif ekspor barang Indonesia ke AS tidak hanya berdimensi tunggal. Ia sebaliknya membawa efek domino yang tidak bisa dihindari.
Baik itu industri kecil maupun besar, industri padat modal hingga padat karya, semua akan terkena dampak dari kebijakan struktural ini.
Pemerintah mau tidak mau harus segera merespons situasi ini melalui rumusan strategi yang tepat baik untuk target jangka pendek maupun jangka panjang.
Jangka pendek, misalnya, pemerintah harus pintar-pintar melobi dan membangun negosiasi yang cerdik dengan Gedung Putih guna mendapatkan kembali fasilitas tarif seperti Generalized System of Preferences (GSP).
Bahkan bila diperlukan, pemerintah segera membangun pendekatan state-to-state dengan diplomasi tingkat tinggi sebagai bentuk keseriusan Indonesia dalam menjaga hubungan dagang strategis dengan Washington.
Sementara, untuk jangka panjang, upaya diversifikasi pasar ekspor tidak bisa ditunda-tunda lagi. Kita tidak bisa terus-terusan mengandalkan pasar seperti AS dan Uni Eropa.
Barangkali perlu juga membidik kawasan seperti Timur Tengah, Amerika Latin dan Afrika yang selama ini belum tergarap secara maksimal.
Di saat bersamaan, dukungan yang serius terhadap pelaku industri domestik, utamanya UMKM dan eksportir kecil-menengah harus dibuktikan. Ini demi masa depan kemandirian ekonomi Indonesia.
Akhirnya Indonesia tidak selamanya mengharapkan kebijakan preferensial negara lain. Sudah waktunya pemerintah membuktikan kekuatan industri dalam negeri melalui diplomasi yang cerdik didukung dengan strategi ekonomi yang tangguh, adaptif dan berdaya saing global.
Oleh: Yakub F. Ismail
Penulis adalah Ketua Umum Ikatan Media Online (IMO) Indonesia