Wacana pembongkaran tiang monorel yang digulirkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kembali ramai dibicarakan. Setelah puluhan tahun berdiri tanpa fungsi, tiang-tiang beton peninggalan proyek Monorel Jakarta itu kini dinilai mengganggu estetika dan tata ruang ibu kota.
Langkah Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung untuk menata ulang kawasan tersebut dianggap tepat, meski tidak mudah. Proses pembongkaran memerlukan koordinasi lintas instansi dan dasar hukum yang kuat, sebab tiang-tiang itu merupakan sisa proyek besar bernilai triliunan rupiah di masa lalu.
Koordinasi Aset dan Kajian Teknis
Proyek monorel dulu dikerjakan oleh PT Adhi Karya (Persero) Tbk (ADHI) di atas lahan milik Pemprov DKI. Karena itu, pembongkaran tidak bisa dilakukan sepihak. Pemerintah perlu melakukan inventarisasi dan penghapusan aset melalui BPKAD DKI Jakarta, agar tidak menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari.
Langkah berikutnya adalah audit teknis struktur yang dilakukan Dinas Bina Marga dan Cipta Karya, untuk memastikan kondisi beton, kekuatan pondasi, serta keamanan pembongkaran. Kajian AMDAL lalu lintas dan lingkungan juga harus disiapkan agar kegiatan pembongkaran tidak mengganggu mobilitas warga.
Dukungan Publik dan Manfaat Pasca-Pembongkaran
Banyak warga mendukung rencana pembongkaran. Mereka berharap wajah Jakarta kembali bersih dan indah tanpa deretan tiang beton “mangkrak” di tengah jalan. Tentunya, setelah dibongkar, area bekas tiang itu bisa disulap menjadi jalur pedestrian, taman kota atau vertical garden yang mempercantik kota dan memberi manfaat nyata bagi masyarakat.
Saat ini, tiang-tiang monorel masih berdiri di kawasan Kuningan hingga Senayan, berjejer kokoh berkisar hingga 10 meter. Secara teknis, beton bertulang semacam itu memiliki ketahanan hingga 50 tahun. Jika dihitung sejak dibangun antara 2004–2015, secara teoritis masih menyimpan kekuatan struktural sekitar 35 tahun ke depan.
Perlu Strategi Efisien
Meski kuat, pembongkaran tetap perlu dilakukan dengan perhitungan matang. Sebaiknya yang dibongkar hanya bagian atasnya, sementara pondasi dibiarkan tetap tertanam. Alasannya, pembongkaran total akan memakan biaya besar dan waktu panjang. Dengan cara ini, pondasi masih bisa dimanfaatkan di masa depan bila diperlukan kembali dengan struktur kokoh.
Potensi Pemanfaatan Ulang
Selain untuk penghijauan dan pedestrian, tiang-tiang tersebut bisa juga diubah menjadi, Jalur sepeda elevated, ruang ekonomi rakyat (UMKM) di bawah struktur atau landmark kota berkelanjutan dengan desain ramah lingkungan. Gagasan ini sejalan dengan visi Jakarta menuju kota global yang hijau dan berdaya saing.
Sekilas Sejarah Monorel Jakarta
Gagasan monorel pertama kali muncul di era Gubernur Sutiyoso (2003–2004). Saat itu proyek ini diproyeksikan sebagai solusi kemacetan, melengkapi TransJakarta. Rencana awal mencakup dua jalur, Green Line sepanjang 14,3 km (Rasuna Said – Casablanca – Kuningan – Sudirman), dan Blue Line sepanjang 12,7 km (Kuningan – Tanah Abang – Kampung Melayu). Proyek digarap oleh PT Jakarta Monorail (JM), konsorsium investor Indonesia–Malaysia, dengan investasi sekitar Rp 4,5 triliun. Teknologi yang digunakan adalah straddle beam monorail, yaitu rel beton di atas tiang pancang. Sayangnya, proyek ini sempat berhenti, sempat dihidupkan kembali pada 2013–2015, namun akhirnya benar-benar tidak dilanjutkan dan tak difungsikan.
Menjadi Pelajaran
Kini, setelah dua dekade, monorel Jakarta menjadi simbol pelajaran penting tentang perencanaan infrastruktur perkotaan. Bahwa pembangunan tidak cukup hanya dengan ide besar, tetapi juga perlu komitmen, tata kelola, dan keberlanjutan. Langkah pembongkaran tiang monorel bukan sekadar membersihkan kota dari beton usang, melainkan tanda dimulainya babak baru penataan ruang Jakarta yang lebih manusiawi dan berorientasi pada warga.
Oleh Sudin Antoro, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Perusahaan Kontruksi Indonesia (ASPERKONI)