Catatan Ketua MPR RI, Mewaspadai Gejala Resesi Ekonomi dengan Bijaksana

Putraindonews.com-Bambang Soesatyo Ketua MPR RI/Dosen Pascasarjana Universitas Pertahanan RI (UNHAN), Universitas Borobudur, Universitas Terbuka (UT) dan Universitas Perwira Purbalingga (UNPERBA)

SELURUH proses mempersiapkan hadirnya pemerintah baru pada akhir Oktober 2024 dibayangi oleh gejala resesi ekonomi. Di tengah hiruk pikuk kegiatan itu, Indonesia tidak boleh lengah untuk melihat keluar (outward looking) guna mendapatkan pemahaman lebih komprehensif tentang tantangan- tantangan riel yang muncul dari gejala resesi ekonomi sekarang ini.

Perkiraan Dana Moneter Internasional (IMF) layak dijadikan pijakan untuk menghadapi dan menyikapi dinamika perekonomian global dewasa ini. IMF mencatat, perlambatan ekonomi pasca pandemi Covid-19 masih akan berlanjut di sepanjang tahun ini. Jepang dan Inggris, dua negara industri maju anggota G-7, sudah masuk zona resesi. Masih menurut IMF, kecenderungan melambannya pertumbuhan ekonomi juga masih akan terjadi di beberapa negara lain, termasuk Tiongkok dan Amerika Serikat (AS).

Tahun ini, IMF memperkirakan ekonomi AS hanya tumbuh 1,6 persen, atau turun dari pertumbuhan 2023 yang dua (2) persen, sedangkan ekonomi Tiongkok per 2024 diperkirakan tumbuh 4,5 persen, atau turun dari pertumbuhan 2023 yang tercatat lima (5) persen.

Karena dua kuartal berturut-turut tumbuh negatif, Jepang dan Inggris masuk zona resesi. Perekonomian Jepang dilaporkan alami kontraksi (penurunan) 0,4 persen pada kuartal IV 2023, setelah sebelumnya mengalami kontraksi 3,3 persen pada kuartal III 2023. Selain inflasi yang relatif tinggi, faktor lain yang menyebabkan menurunnya kinerja perekonomian Jepang adalah terus melemahnya konsumsi dalam negeri.

Perekonomian Inggris juga dilaporkan alami kontraksi pada kuartal III dan IV tahun 2023. Ekonomi Inggris mengalami kesulitan untuk pulih dari kerusakan yang disebabkan oleh Pandemi Covid-19, terutama karena naiknya harga energi. Sudah banyak laporan tentang meningkatnya jumlah warga miskin di Inggris.

Kecenderungan perekonomian global yang sedang tidak baik-baik saja saat ini hendaknya diwaspadai dengan penuh kebijaksanaan oleh pemerintah Indonesia. Melihat keluar dalam skala global sangat penting untuk memperoleh gambaran dan pemahaman lebih komprehensif tentang tantangan- tantangan riel yang muncul dari gejala resesi ekonomi sekarang ini.

BACA JUGA :   Penguatan Mental Anak Bangsa Harus Menjadi Perhatian Serius Semua Pihak

Apalagi, ketika perekonomian Jepang dan Inggris sudah masuk zona resesi, masyarakat di dalam negeri gelisah menyoal kenaikan harga beras. Tentu saja, baik pemerintahan sekarang maupun pemerintahan baru yang akan hadir di penghujung Oktober 2024 harus waspada dan terus bekerja keras untuk membawa perekonomian nasional menjauh dari zona resesi.

Dapat dipastikan bahwa ketidakpastian global masih akan berlanjut, dan cepat atau lambat akan memengaruhi kinerja perekonomian nasional. Hal ini perlu diingatkan dan digarisbawahi oleh pemerintah karena melemahnya kinerja perekonomian global sudah berdampak ke Indonesia. Penyebabnya, beberapa negara yang kinerja perekonomiannya sedang melemah adalah mitra Indonesia di sektor perekonomian. Dan, jika dampak atau ekses ketidakpastian itu tidak ditanggapi dengan langkah atau pendekatan yang penuh kebijaksanaan, masyarakat kebanyakanlah yang akan menanggung segala bentuk eksesnya.

Indikator pertama yang dapat menjelaskan bahwa Indonesia sudah menerima dampak ketidakpastian ekonomi global adalah data tentang menurunnya kinerja ekspor. Per Januari 2024, neraca perdagangan Indonesia memang masih surplus 2,01 miliar dolar AS, tetapi pertumbuhan ekspor cenderung melemah. Nilai surplus neraca perdagangan itu mencerminkan penurunan karena harga komoditas andalan ekspor Indonesia juga turun. Tercatat bahwa nilai ekspor Indonesia pada Januari 2024 turun 8,06 persen, menjadi 20,52 miliar dolar AS. Ada surplus karena nilai impor sekitar 18,51 miliar dolar AS atau naik 0,36 persen.

Faktor kedua yang tidak kalah pentingnya untuk terus diwaspadai adalah tekanan terhadap anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) akibat tingginya suku bunga saat ini. Belum ada kepastian kapan suku bunga acuan pada tingkat global akan turun.

Total utang luar negeri Indonesia hingga akhir November 2023, menurut catatan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), adalah Rp 8.041,01 triliun, dengan rasio terhadap PDB 38,11 persen. Pembayaran bunga utang pemerintah dalam APBN 2023 masih cukup tinggi, yakni mencapai Rp 441,4 triliun. Tingginya suku bunga saat ini tentu akan berdampak pada volume pembayaran bunga utang luar negeri di tahun-tahun mendatang.

BACA JUGA :   Cegah COVID-19, Komisi IV DPRD Lampung Tinjau Langsung Simpul-Simpul Transportasi Publik

Berkait dengan pengelolaan APBN dan kebijakan utang luar negeri saat ini dan seterusnya hendaknya sungguh-sungguh dilandasi kehati-hatian, dan selalu berpijak pada skala prioritas, atau sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Sangat penting untuk mendorong peningkatan konsumsi masyarakat (dalam negeri) sebagai bagian dari strategi merawat pertumbuhan ekonomi.

Faktor ketiga yang juga sangat strategis adalah kerja keras dan lebih bersungguh-sungguh dalam upaya memperkecil defisit produksi tanaman pangan di dalam negeri, khususnya beras. Ketika pemerintah sudah berinsiatif untuk impor tiga (3) juta ton beras pada tahun 2024 ini, menjadi pertanda sangat jelas bahwa produksi beras di dalam negeri defisit sehingga tidak dapat memenuhi permintaan atau kebutuhan masyarakat.

Rencana impor beras itu jangan sampai mengendurkan semangat untuk mewujudkan kemandirian pangan, khususnya produksi beras. Ingat bahwa rencana atau komitmen impor itu dibuat ketika dunia sedang menghadapi ketidakpastian saat ini. Artinya, komitmen impor itu bisa berubah setiap saat, karena setiap negara produsen pada akhirnya akan memrioritaskan kebutuhan dalam negerinya sendiri.

Di tengah keluhan tentang naiknya harga beras premium, Badan Pangan Nasional (Bapanas) mengemukakan bahwa stok beras Bulog saat ini sekitar 1,4 ton juta dan dapat memenuhi kebutuhan nasional hingga Juni 2024. Kalau skenarionya berjalan lancar, akan ada tambahan stok beras nasional sekitar 3,5 juta ton hasil dari panen bulan Maret mendatang.

Namun, tetap relevan untuk diingatkan bahwa skenario atau target produksi beras selalui dibayangi oleh gangguan akibat perubahan iklim. Fakta historis setidaknya sudah memberi bukti. Total produksi beras tahun 2023 diperkirakan 30,90 juta ton, atau turun jika dibandingkan dengan produksi beras tahun 2022 yang mencapai 31,54 juta ton. Selain itu, faktor menurunnya luas areal panen padi sangat penting untuk digarisbawahi dan ditangani melalui program berkelanjutan.Red/HS

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI

error: Content is protected !!