Lestari Moerdijat: Butuh Kehati-hatian Hadapi Tantangan Dampak Gejolak Ekonomi Global

Putraindonews.com-Butuh kehati-hatian dalam menentukan langkah yang tepat untuk menghadapi tantangan dampak gejolak ekonomi global.

“Tantangan dampak ekonomi global saat ini bukan merupakan hal yang mudah. Butuh kehati-hatian dalam menyikapi dinamika ekonomi yang terjadi, agar upaya memajukan kesejahteraan umum yang diamanatkan konstitusi bisa tetap direalisasikan,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, dalam sambutan tertulis pada diskusi daring bertema BRICS dan Tarif Trump: Tantangan Baru Bagi Ekonomi Indonesia yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (16/7).

Diskusi yang dimoderatori Dr. Radityo Fajar Arianto, MBA (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) menghadirkan Freddy Josep Pelawi (Analis Perdagangan Kementerian Perdagangan), Prof. Dr. Telisa Aulia Falianty (Guru Besar FEB UI/Tenaga Profesional Lemhannas), Riandy Laksono (Peneliti Ekonomi CSIS), dan Hidayat Hendra Sasmita (Ketua HIMKI Jepara).

Dr. Silverius Y. Soeharso (Dosen Psikologi Universitas Pancasila/Wasekjen Dewan Pakar Partai Nasdem) turut hadir sebagai penanggap.

Menurut Lestari, bergabungnya Indonesia dengan organisasi negara-negara BRICS (Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan) pada tahun lalu, merupakan langkah strategis yang harus mampu membuka sejumlah peluang yang bisa mendatangkan manfaat bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

Rerie–sapaan akrab Lestari–berpendapat, penting untuk mewujudkan persatuan setiap anak bangsa dalam menyikapi tantangan dampak dinamika ekonomi global yang terjadi saat ini.

Berbagai potensi ekonomi lokal, tambah Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu, juga harus dimanfaatkan sebagai bagian dari solusi menghadapi tantangan.

Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu berharap, dampak gejolak ekonomi global dapat dihadapi dan dijawab dengan kekuatan bersama setiap anak bangsa dalam membangun ekosistem bisnis yang lebih baik.

Freddy Josep Pelawi (Analis Perdagangan Ahli Madya, Kementerian Perdagangan) menyampaikan bahwa keikutsertaan Indonesia dalam BRICS diharapkan dapat mengatasi hambatan perdagangan dengan negara anggota, seperti Brasil yang menerapkan anti-dumping pada baja Indonesia, dan bea masuk imbalan pada produk lainnya.

Ia menambahkan, produk Indonesia juga masih terkendala standar kualitas di pasar Rusia. Sementara itu, potensi perdagangan dengan Iran terbuka lebar karena sanksi dari negara lain tidak mengikat Indonesia.

BACA JUGA :   HNW Ingatkan DPR Agar Lancarkan Konsultasi Peraturan KPU yang Menindaklanjuti Putusan MK terkait Pilkada untuk Segera Disahkan, Sebelum Pendaftaran Pilkada Dimulai

Menurutnya, Indonesia tetap bebas menentukan kebijakan perdagangannya. Saat ini, pemerintah fokus melindungi pasar domestik dan memperluas ekspor ke wilayah baru.

Guru Besar FEB UI, Telisa Aulia Falianty, menilai keanggotaan Indonesia di BRICS dapat memperkuat posisi tawar terhadap dominasi negara G7.

“Presiden Trump tidak suka dengan anggota BRICS karena akan mengganggu hegemoni AS terhadap sejumlah negara,” ujar Telisa.

Namun, menurut Telisa, Indonesia belum bisa sepenuhnya lepas dari AS karena masih bergantung pada dolar. Ia menekankan bahwa negosiasi tidak boleh hanya fokus pada perdagangan, tetapi juga harus mencakup investasi, tenaga kerja, dan arus uang.

Telisa menyayangkan pendekatan Indonesia yang terlalu sempit dalam bernegosiasi dengan AS, padahal AS meraih keuntungan besar dari sektor teknologi dan jasa. Ia juga mengingatkan, pemberian tarif 0% pada produk AS bisa menimbulkan tuntutan serupa dari negara lain, yang harus diantisipasi sejak awal.

“Jangan panik dalam bernegosiasi, jangan sampai hasilnya malah mengorbankan kedaulatan bangsa,” ujarnya.

Peneliti Departemen Ekonomi CSIS, Riandy Laksono, berpendapat, perang tarif AS-China berevolusi dari sekadar perang tarif menjadi upaya untuk menata ulang rantai pasok dunia. Karena yang akan dipermasalahkan dalam perang tarif AS ini bukan hanya soal “made in China”, tetapi juga “made by China”.

Indonesia, menurut Riandy, perlu melakukan ekstensifikasi investasi karena AS akan mempersoalkan asal dari bahan baku sebuah produk. Tujuan perang dagang AS sejatinya adalah untuk menghambat sektor manufaktur China, sebagai antisipasi terjadinya perang terbuka di masa depan. Amerika ingin mengurangi pengaruh China di sejumlah kawasan.

Pada perang tarif AS-China, jelas Riandy, isu transhipment menjadi isu penting. Dalam skema perdagangan AS-Vietnam, misalnya, tarif yang dikenakan AS terhadap produk Vietnam adalah 20%. Namun, jika terbukti sebagai produk transhipment, barang Vietnam bisa dikenakan tarif 40%.

Skema serupa, menurutnya, kemungkinan diterapkan dalam perdagangan AS-Indonesia. Ia mengingatkan pentingnya kejelasan definisi transhipment dalam negosiasi, mengingat banyak produk Indonesia memakai bahan baku impor yang lebih kompetitif.

Ketua HIMKI Kabupaten Jepara, Hidayat Hendra Sasmita, mengungkapkan, pada triwulan pertama 2025 industri furnitur di Jepara mengalami pertumbuhan 9,9% dari tahun lalu.

BACA JUGA :   Kekhawatiran Yusril Akan Kedaruratan Negara Sejalan Dengan Pikiran Ketua MPR RI Bamsoet

Hidayat mengaku optimistis terhadap kondisi saat ini, setelah tahun lalu menghadapi dampak perang Rusia-Ukraina yang mengakibatkan pasar furnitur turun 30%-40%.

Menurut Hidayat, industri furnitur mampu beradaptasi terhadap dampak perang Rusia-Ukraina. Ketidakpastian dalam penerapan tarif oleh AS beberapa waktu lalu, tambah dia, sempat menekan volume ekspor furnitur ke AS hingga 50%.

Dosen Psikologi Universitas Pancasila, Silverius Y. Soeharso, berpendapat, perang dagang yang dipicu penerapan tarif oleh AS terhadap sejumlah negara, bukan sekadar perang dagang, tetapi juga perang psikologis.

“Ini adalah perang psikologis yang sedang dimainkan oleh Trump. Jadi, kalau kita panik menghadapi ini, kita akan kedodoran,” ujar Soeharso.

Kondisi saat ini, jelas Soeharso, adalah peluang. Selain BRICS, menurut dia, Australia memiliki potensi ekonomi yang cukup besar sebagai salah satu negara tujuan ekspor.

Soeharso mendorong agar potensi sumber daya manusia (SDM) yang kita miliki harus didorong mampu mengisi kebutuhan tenaga kerja di sejumlah negara.

“China dan India punya kebijakan untuk menempatkan warganya ke industri-industri di berbagai negara dunia,” ujarnya.

Wartawan senior, Saur Hutabarat, mengungkapkan, peluang-peluang di BRICS diperkirakan baru akan terbuka pada 2045, ketika GDP negara-negara anggota BRICS melampaui negara-negara G7.

Saat ini, ujar Saur, Indonesia mulai merintis jalan untuk menjemput sejumlah peluang itu, bersamaan dengan pencapaian Indonesia Emas pada 2045.

Selain itu, masa pemerintahan Donald Trump tinggal 3,5 tahun lagi dan AS berpeluang besar dipimpin oleh presiden yang baru dan kemungkinan besar tidak melanjutkan kebijakan Trump.

Jadi, ujar Saur, membuang energi yang berlebihan dan terlalu reaktif menyikapi kebijakan Trump saat ini tidak terlalu bijaksana. Karena itu, Indonesia harus melihat ke dalam untuk segera menyelesaikan sejumlah pekerjaan rumah untuk membangun ekosistem bisnis dan investasi yang baik.

“Bila kepastian hukum masih seperti saat ini, saya khawatir tidak ada investor yang datang dan pengusaha tidak akan membangun usaha di sini,” ujarnya.Red/HS

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI

error: Content is protected !!