Putraindonews.com-Wakil Ketua MPR H. Eddy Soeparno, SH, MH, menjadi narasumber dalam UIMine Grand Summit dengan tema “Transisi Energi di Indonesia: Kebijakan dan Tantangan Masa Depan” di Aula Prof. Dr. Ir. Soemantri Brodjonegoro, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Indonesia, Depok, pada Jumat, 22 November 2024. Dalam paparannya Eddy Soeparno menyampaikan pentingnya transisi energi karena Indonesia memiliki target melakukan net zero emission pada tahun 2060.
“Transisi energi dibutuhkan mengingat tingkat polusi dan permasalahan lingkungan hidup menjadi salah satu perhatian khusus. Bahkan Presiden Prabowo dalam lawatannya ke luar negeri (diantaranya mengunjungi beberapa negara dan mengikuti G-20) sering berbicara mengenai krisis iklim, sehingga penanganan krisis iklim itu harus dilakukan secara cepat. Salah satunya adalah dengan transisi energi,” kata Eddy Soeparno.
Selama ini, suplai energi di Indonesia didominasi energi fosil. Pada tahun 2024 hanya 12,9 persen bauran energi terbarukan. Padahal Indonesia memiliki potensi energi terbarukan hingga 2.700 GW. “Karena itu dibutuhkan akselerasi transisi energi agar bauran energi terbaruakan di Indonesia semakin besar dan berdampak pada udara yang lebih bersih dan bebas polusi,” jelasnya.
Menurut Eddy Soeparno, transisi energi ini juga bisa memperkuat ketahanan energi Indonesia karena bisa mengurangi ketergantungan pada impor energi. “Kita mengembangkan sumber-sumber daya energi dalam negeri yang kebetulan adalah sumber daya-sumber daya energi yang terbarukan,” ujarnya.
Wakil Ketua Umum PAN itu mengungkapkan tantangan terbesar dalam transisi energi saat ini adalah soal regulasi. “Kita harus melakukan penyempurnaan regulasi. RUU Energi Baru dan Terbarukan (EBET) harus segera disahkan, termasuk juga pembuatan peraturan turunannya. Saya berharap paling lama kwartal pertama tahun 2025, UU EBET itu sudah bisa kita sahkan,” tuturnya.
Saat ini, DPR dan pemerintah sedang menuntaskan hampir 90 persen dari keseluruhan permasalahan dari Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU EBET. Eddy Soeparno optimistis isu dan permasalahan dalam DIM itu bisa dibahas dalam waktu yang relatif cepat. “Ada kesepakatan dari pemerintah sehingga kita bisa membawa RUU EBET ini ke sidang paripurna untuk mendapatkan pengesahan,” sebut anggota Komisi XII yang membidangi antara lain masalah energi dan lingkungan hidup ini.
Tantangan lainnya, lanjut Eddy Soeparno, adalah masalah industri dan teknologi. Berkah dari pengembangan energi terbarukan ke depan adalah pengembangan energi terbarukan dimiliki industri dalam negeri. Sehingga industri dalam negeri mampu, misalnya, mengembangkan industri baterei, solar panel. “Tantangan lainnya adalah soal pendanaan. Kita membutuhkan sekitar 700 miliar dolar untuk betul-betul mencapai net zero emission di tahun 2060,” tambahnya.
“Itu tidak bisa dilakukan oleh Indonesia sendiri. Indonesia harus mendapatkan dukungan dan bantuan dari negara-negara sahabat, negara-negara donor, multilateral, dan lembaga keuangan komersial lainnya. Ini merupakan effort yang bersama-sama, dilaksanakan oleh Indonesia dan negara-negara sahabat yang lain,” imbuhnya.
Eddy Soeparno juga mengajak kalangan kampus untuk ikut terlibat aktif dalam proses transisi energi Indonesia. Alasannya, kampus (perguruan tinggi) berbasis riset, data, akurasi penelitian. “Ini penting agar kita bersama-sama untuk ikut mempercepat proses transisi energi. MPR RI adalah Rumah Besar kolaborasi. UIMine Grand Summit ini merupakan bagian dari kolaborasi kami di MPR RI dengan Universitas Indonesia, dalam hal ini Fakultas MIPA. Dengan senang hati saya ingin meningkatkan kolaborasi dengan kampus khususnya Universitas Indonesia. Kapan saja ingin melakukan kolaborasi lebih lanjut dengan kami, kami siap melakukan kolaborasi bersama-sama dunia akademisi,” pungkasnya.
Turut berbicara dalam UIMine Grand Summit ini adalah Dr. Eng, Yunus Daud (Kepala Pusat Penelitian Panas Bumi atau GRC Universitas Indonesia) dan Nisriyanto (Presiden dan CEO PT Supreme Energy). Turut hadir Dekan FMIPA Prof. Dede Djuhana, MSi, PhD, Wakil Dekan
Tantangan lainnya, lanjut Eddy Soeparno, adalah masalah industri dan teknologi. Berkah dari pengembangan energi terbarukan ke depan adalah pengembangan energi terbarukan dimiliki industri dalam negeri. Sehingga industri dalam negeri mampu, misalnya, mengembangkan industri baterei, solar panel. “Tantangan lainnya adalah soal pendanaan. Kita membutuhkan sekitar 700 miliar dolar untuk betul-betul mencapai net zero emission di tahun 2060,” tambahnya.
“Itu tidak bisa dilakukan oleh Indonesia sendiri. Indonesia harus mendapatkan dukungan dan bantuan dari negara-negara sahabat, negara-negara donor, multilateral, dan lembaga keuangan komersial lainnya. Ini merupakan effort yang bersama-sama, dilaksanakan oleh Indonesia dan negara-negara sahabat yang lain,” imbuhnya.
Eddy Soeparno juga mengajak kalangan kampus untuk ikut terlibat aktif dalam proses transisi energi Indonesia. Alasannya, kampus (perguruan tinggi) berbasis riset, data, akurasi penelitian. “Ini penting agar kita bersama-sama untuk ikut mempercepat proses transisi energi. MPR RI adalah Rumah Besar kolaborasi. UIMine Grand Summit ini merupakan bagian dari kolaborasi kami di MPR RI dengan Universitas Indonesia, dalam hal ini Fakultas MIPA. Dengan senang hati saya ingin meningkatkan kolaborasi dengan kampus khususnya Universitas Indonesia. Kapan saja ingin melakukan kolaborasi lebih lanjut dengan kami, kami siap melakukan kolaborasi bersama-sama dunia akademisi,” pungkasnya.
Turut berbicara dalam UIMine Grand Summit ini adalah Dr. Eng, Yunus Daud (Kepala Pusat Penelitian Panas Bumi atau GRC Universitas Indonesia) dan Nisriyanto (Presiden dan CEO PT Supreme Energy). Turut hadir Dekan FMIPA Prof. Dede Djuhana, MSi, PhD, Wakil Dekan.Red/SG