Putraindonews.com – Jakarta | Wakil Ketua Umum DPN Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah mengingatkan para akademisi untuk tidak terjebak dalam perdebatan isu para politisi, menjelang pelaksanaan pemilihan presiden (Pilpres) 2024.
“Apa yang terjadi belakangan ini, sebagai isu dalam Pilpres, kita perlu hati-hati, terutama di dunia akademik. Jangan sampai terjebak sama ‘permainan’ maupun perdebatannya para politisi,” kata Fahri saat memberikan Kuliah Umum Ilmu Administrasi Publik di Universitas Muhammadiyah Sukabumi, Jawa Barat, Sabtu (18/11/23).
Menurut Fahri, para politisi sengaja memanfaatkan suatu isu seperti dinasti politik dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal batas usia capres-cawapres sebagai alat kampanye untuk menjatuhkan lawan masing-masing.
“Para politisi ini, terutama menjelang menjelang pilpres, kerjaannya adalah memanfaatkan momentum yang ada untuk dimodifikasi sebagai bagian dari alat kampanye untuk mengangkat dan menjatuhkan lawan,” katanya.
Wakil Ketua DPR RI Perjode 2014-2019 ini berpandangan bahwa dinasti politik itu memiliki terminologi yang berbeda dalam tradisi ototarian (monarki atau kerajaan) dan tradisi demokrasi.
“Kalau tradisi ototarian itu menurunkan kekuasaannya pada darah dan ini ada dalam tradisi monarki, kerajaan. Tetapi dalam demokrasi itu, disebut keluarga politik, orang yang memilih menjadi politisi seperti keluarga lainnya,” sebut dia lagi.
Karena itu, lanjut Fahri, peran keluarga Bung Karno (Soekarno) sebagai politisi seperti Megawati Soekarnoputri, Rahmawati Soekaroputri, Sukmawati Soekarnoputri, Guruh Soekarnputra, Puan Maharani dan lain-lain, tidak bisa disebut sebagai dinasti politik, tetapi merupakan keluarga politik.
“Jadi kalau Ibu Megawati yang memimpin PDI Perjuangan, pernah menjadi Presiden RI ke-5 dan anaknya sekarang Puan Maharani jadi Ketua DPR RI. Lalu, cucunya juga sebagai calon legislatif, itu bukan dinasti politik, karena kekuasaannya tidak diturunkan pada darah, dipilih atau tidak dipilih. Itu keluarga politik Bung Karno,” jelas Fahri lagi.
Hal ini juga terjadi pada keluarga politisi Ratu Atut Chosiyah di Banten, juga tidak bisa disebut sebagai dinasti politik, tetapi merupakan keluarga politik yang memilih jalur menjadi politisi.
“Itu sama saja dengan keluarga dosen atau keluarga dokter, yang ingin menjadi dosen atau dokter seperti kakek atau bapaknya. Jadi di dalam demokrasi, orang diberikan kebebasan dalam memilih apapun,” katanya.
Artinya, menurut Fahri, apa yang terjadi di keluarga Presiden Joko Widodo (Jokowi) sekarang dan menjadi polemik di masyarakat yang dianggap sebagai dinasti politik, bukan merupakan dinasti politik, tetapi keluarga politik. Dimana kiprah anak-anaknya (Jokowi) antara lain Gibran Rakabuming Raka, Kaesang Pangarep, serta menantunya Bobby Nasution yang memilih menjadi politisi seperti Jokowi merupakan kebebasan dalam demokrasi.
“Jadi dalam demokrasi itu tidak ada namanya dinasti politik, apalagi dalam demokrasi elektoral. Kekuasaan yang didapat tidak diturunkan, tapi konsekuensinya dipilih atau tidak dipilih, itu saja,” katanya.
Fahri juga menegaskan, bahwa tidak ada aturan dalam konstitusi yang ‘ditabrak’ atau dilanggar terkait putusan MK soal batas usia capres-cawapres. Sebab, konstitusinya tidak berubah, tapi yang berubah adalah undang-undangnya saja.
“Karena cara mengubah undang-undang itu gampang. Caranya pertama diusulkan DPR RI perubahannya, lalu dibahas bersama pemerintah dan terciptalah perubahan undang-undang. Itu bukan masalah bagi DPR RI, karena memang setiap 5 tahun undang-undang Pemilu selalu diubah. Cara kedua adalah melalui Mahkamah Konstitusi dengan mengajukan judicial rewiew untuk mengabah satu pasal atau seluruh undang-undang,” pungkas Caleg DPR RI dari Partai Gelora Indonesia untuk Dapil Nusa Tenggara Barat (NTB) I itu. Red/HS