Putraindonews.com – Wakil Ketua Umum Partai Gelora Indonesia, Fahri Hamzah mengatakan bahwa rekonsiliasi menjadi tema yang paling diinginkan oleh masyarakat Indonesia saat ini, di mana pertikaian dan konflik antar pemimpin tidak lagi terjadi. Konflik pemimpin itu buruk akibatnya bagi bangsa Indonesia.
Hal ini disampaikan Fahri, dalam podcast Madilog, Senin (16/9/2024), sebagai gambaran bagaimana harmonisasi dan soliditas antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Prabowo Subianto saat ini.
“Dan sekali pemimpin kita bersatu dan komit bersatu, Pak Prabowo dan pak Jokowi bersatu, alhamdulillah ini akan menjadi modal besar kita untuk melihat masa depan yang lebih baik,” imbuhnya.
Persatuan antar pemimpin, lanjut Fahri, khususnya antara Jokowi yang hendak berakhir masa tugasnya dengan Prabowo Subianto yang akan melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan nasional itu harus disepakati terlebih dahulu oleh semua mindset masyarakat, termasuk oleh para elite.
Sebab, konsep persatuan dan keberlanjutan hingga muncul wacana transisi ini menjadi keinginan seluruh rakyat Indonesia melalui mekanisme Pilpres 2024 lalu. Di mana suara Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka jauh lebih unggul ketimbang dua rivalnya, yakni Ganjar-Mahfud dan Anies-Muhaimin yang menggagas konsep perubahan ketimbang keberlanjutan.
“Sepakat tidak kita, mungkin elit ada yang nggak sepakat, tapi rakyat membuat keputusan bahwa ternyata tema rekonsiliasi itu dimenangkan oleh rakyat, tema keberlanjutan juga dimenangkan oleh rakyat,” ujarnya.
“Ya sudah ini kita ikuti dan ini akan menjadi realitas, jadi kebijakan pemerintah kira-kira lima tahun ke depan paling tidak, gitu,” sambung Wakil Ketua DPR RI Periode 2014-2019 itu.
Fahri menggarisbawahi agar jangan sampai ada pihak-pihak yang mencoba melakukan adu domba terhadap Prabowo dengan Jokowi. Sebab, ia secara pribadi pun ingin agar transisi kepemimpinan nasional antara Jokowi ke Prabowo tidak seperti transisi kepemimpinan era-era sebelumnya yang dihiasi oleh konflik.
“Kalau motifnya adu domba, saya kira memang ini harus kita lawan ya. Dalam pengertian, saya tidak mau transisi Pak Jokowi kepada Pak Prabowo itu seperti dari Bung Karno kepada Pak Harto, atau dari Pak Harto ke Pak Habibie, atau dari Pak Habibie ke Gus Dur, atau dari Gus Dur ke Ibu Mega dan seterusnya, saya enggak mau,” tuturnya.
Karena, yang diinginkan dirinya termasuk oleh mayoritas masyarakat Indonesia adalah bagaimana antara pemimpin dengan calon penggantinya melakukan sebuah mekanisme harmonisasi yang membawa kebaikan untuk semua pihak.
“Kita mau ini sesuatu yang lebih baik bahwa pemimpin saling menghantarkan secara baik, bahwa pak Prabowo dan Pak Jokowi ternyata berada dalam satu nafas visi bersama untuk melihat ke depan,” tandasnya.
Jika melihat isu kekinian, Fahri pun melihat bahwa perpecahan antara Prabowo dengan Jokowi tidak terjadi seperti yang dikhawatirkan banyak kalangan. Apalagi jika mendengar pidato Prabowo yang mendeklarasikan sikap seluruh kader Gerindra yang akan menjaga Jokowi dari upaya untuk mengganggu dan menyakitinya.
Kedamaian transisional ini, masih menurut Fahri, harus dijaga bersama, dan perpecahan yang mereka bayangkan oleh teman-teman itu bahwa Prabowo akan melupakan Jokowi, atau Prabowo akan mengakali Jokowi dan sebagainya. Juga sebaliknya, Jokowi akan mengganggu Prabowo.
“Ini adalah niat-niat tidak baik, kita enggak boleh izinkan itu. Jadi kita harus melihat transisi yang lebih baik dan antara pemimpin yang satu dengan pemimpin yang lain saling mengestafet perjalanan besar ini, perjalanan kita ke depan itu,” pungkas politisi dari Nusa Tenggara Barat (NTB) ini. Red/HS