Fenomena Calon Tunggal Melawan Kotak Kosong, Ancaman Serius Bagi Keberlanjutan Demokrasi di Indonesia

Putraindonews.com – Fenomena maraknya calon tunggal melawan kotak kosong di Pilkada Serentak 2024, tidak hanya terjadi sekarang, tetapi juga sudah terjadi pada Pilkada sebelumnya. Diketahui, pada Pilkada 2024 terdapat 41 daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon (paslon) kepala dan wakil kepala daerah atau calon tunggal, yang terdiri dari satu Provinsi, 35 Kabupaten dan 5 Kota.

Demikian diungkap peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof.Dr.R. Siti Zuhro, M.A., dalam diskusi Gelora Talk dengan tema ‘Fenomena Pilkada 2024; Bersama atau Melawan Kotak Kosong?’, dikutip Kamis (12/9/2024).

Siti Zuhro mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal ambang batas itu sebenarnya melegakan dan mengurangi calon tunggal, meskipun masih ada sekitar 40-an yang melawan kotak kosong.
Bahkan, ia memastikan jumlahnya akan melonjak tajam, kalau tidak ada amar putusan tersebut.

“Hal itu terjadi karena adanya himbauan koalisi besar di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota dari elite partai politik (Parpol) ditingkat nasional,” ungkapnya lagi.

Tentu saja hal ini menjadi ironi, bahkan anomali dalam demokrasi Indonesia yang multi partai. Dimana semua parpol justru bergabung dalam satu koalisi besar atau gemuk, karena adanya kepentingan pragmatis yang sama.

BACA JUGA :   Petrus: Salah Pilih Pemimpim di Pilpres 2024, Reformasi Balik ke Titik Nol

“Itu bisa kita lihat di Pilkada Jawa Timur dan Jakarta, diamana sebagian besar parpol mengusung Ibu Khofifah dan Pak Ridwan Kamil. Kalau yang memenuhi ambang batas, bisa mencalonkan, tapi kalau tidak bisa, maka akan melawan kotak kosong,” katanya.

Situasi memprihantikan ini, menurut Siti, merupakan dampak dari pelaksanaan Pemilu Serentak 2024, antara Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres), serta berlanjut di Pilkada sekarang.

“Partai politik sedang kehilangan kedaulatannya dan kehilangan otonominya. Tidak percaya diri dalam mempromosikan kadernya. Mereka juga tidak merasa bersalah, malahan fine-fine saja,” sebutnya.

Padahal, kata dia, demokrasi Indonesia sedang dalam ancaman yang cukup serius, karena Pilkada 2024 tidak menghasilkan kompetisi dan calon yang layak. Ada kecenderungan untuk aklamasi dan tidak memberikan edukasi kepada publik.

“Ini semacam warning terhadap kualitas demokrasi kita, demokrasi kita semakin mundur. Pembenahannya harus dimulai dari partai politik itu sendiri, dan tentunya kita mengapresiasi Partai Gelora yang telah mengangkat tema ini dalam diskusi, ” tandas Peneliti Utama BRIN ini.

BACA JUGA :   Habiskan Dana 'Gede', PSI Gagal Tembus ke Senayan

Siti Zuhro berpendapat, keberadaan sistem multi partai seperti sekarang, perlu ditinjau ulang dan dilakukan penyederhanaan, karena menjadi ancaman serius bagi pelaksanaan demokrasi di Indonesia.

“Kita harus mendorong perbaikan Paket Undang-undang (UU) Politik, karena mungkin usianya sudah sangat tua, sementara sekarang banyak perubahan yang sifatnya sangat mendasar. Perlu diadopsi atau direspon partai politik dan dipayungi undang-undang,” katanya.

Paket UU Politik saat ini, menurutnya, perlu dilakukan reformasi total agar demokrasi Indonesia lebih substantif, bukan demokrasi prosedural. Yakni antara lain dengan merevisi UU Parpol, UU Pilpres, UU MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD), UU Pemilu dan UU Pilkada.

“Kita ini mau take off menjadi negara yang kokoh, Indonesia Emas 2045. Maka harus dimulai sekarang agar kita tidak gagal, sehingga perlu ada kompetisi. Tetapi kompetisi sekarang ini, kelihatan hambar,” paparnya.

“Masa sih orang bernyawa harus disandingkan melawan kotak kosong yang tidak bernyawa. Ini pelecehan betul, menangnya tidak enak, kalahpun tidak enak. Ini yang harus kita benahi,” tegas Siti Zuhro menambahkan. Red/HS

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI

error: Content is protected !!