Oleh: Yakub F. Ismail
Publik sempat dihebohkan oleh keputusan Hasan Nasbi yang belum lama ini menyodorkan surat pengunduran diri dari jabatannya sebagai Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO).
Banyak spekulasi bermunculan pasca terbit surat tersebut. Mayoritas mengaitkan pengunduran tersebut ditengarai oleh pernyataannya soal teror kiriman kepala babi ke kantor Tempo.
Namun, semua itu hanya soal spekulasi, tidak ada yang tahu pasti soal alasan sebenarnya. Namun, hal yang luput dari amatan publik adalah soal ketegaran dan jiwa kesatria Hasan Nasbi yang bak “baja”.
Hasan Nasbi bukanlah orang baru di dunia media dan komunikasi publik. Beliau telah cukup lama begelut dengan lingkungan dan dunia permediaan tanah air. Singkatnya, ia terlalu cukup matang dan mapan dalam urusan keprotokolan birokrasi pemerintahan.
Karenanya, wawasan, pengalaman dan durabilitas itu menjadikannya sosok yang tangguh dan tidak banyak berbasa-basi. Hal terakhir ini yang banyak luput dan tidak disadari banyak orang.
Bukan Terbentuk Dari Rahim Politik
Diakui ataupun tidak, hampir sebagian besar elite politik yang muncul di panggung politik nasional adalah mereka yang dibentuk dari “rahim politik”.
Ada yang lahir dari perkaderan partai politik, sebagian ada yang diinkubasi langsung oleh tokoh politik nasional melalui organisasi politik yang dibentuk, hingga mereka yang sejak awal hingga masa tuanya memang mengabdikan diri di jalur politik praktis.
Namun, pengalaman unik dilalui sosok Hasan Nasbi–seorang pria dengan mental “baja” yang justru tak banyak diketahui publik namun tiba-tiba tampil di publik dengan jabatan yang terbilang “mewah”–Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan.
Sebuah jabatan yang tentu tidak mudah diduduki oleh sembarang orang, kalau bukan karena kapasitas, pengalaman dan jam terbang yang cukup di bidangnya.
Bukan rahasia umum bahwa nama Hasan Nasbi mungkin terdengar asing bagi sebagian besar masyarakat.
Beberapa yang mengenal beliau hanyalah mereka yang telah lama berkecimpung di dunia media dan strategi komunikasi publik.
Perjalanan karir beliau memang tidak mudah. Ia merupakan pendiri Cyrus Network, sebuah lembaga konsultan politik yang telah melahirkan banyak tokoh nasional di tanah air.
Hasan Nasbi memang bukan sosok konsultan politik kemarin sore. Ia telah lama malang melintang dan melalanglang buana di semesta perpolitikan Indonesia.
Memang, dirinya terkenal tidak suka tampil di depan kamera – satu peran yang tampak sedikit kontradiktif dengan tugas dan perannya saat ini.
Namun, begitulah ia memperlihatkan dirinya ke publik apa adanya. Ia tipe orang yang tidak suka pencitraan. Barangkali inilah yang membuat dirinya sedikit berbeda dalam hal membangun komunikasi publik dengan minus embel-embel basa-basi.
Orangnya sangat to the point dan berbicara penuh makna. Orang awam bahkan di kalangan intelektual sekalipun jarang memahami pernyataannya secara taken for granted, kalau tidak melalui sebuah interprestasi yang dalam.
Pekerjaannya di belakang layar memang jauh dari sorotan kamera. Tapi, justru bekerja dalam sunyi itulah memainkan perannya dengan penuh kecermatan—lugas, tajam, dan strategis.
Ketajaman Membaca Arah Politik
Satu kelebihan dari Hasan Nasbi yang mungkin tidak banyak orang tahu ialah kepiawaiannya dalam membaca arah politik.
Pergulatannya di dunia konsultan politik membawanya ke dalam sebuah “habitus” yang tidak dimiliki banyak orang: tajam dalam menganalisis probabilitas politik.
Untuk sampai pada tahap ini, ia harus jatuh bangun, bahkan pernah hilang arah. Tapi justru dari kejatuhan berkali-kali inilah ia belajar bagaimana menyusun tumpuan yang kokoh untuk “melompat”.
Seperti besi yang ditempa panas berkali-kali, Hasan Nasbi terbentuk oleh masalalu yang penuh lika-liku. Membuatnya ia menjadi sosok yang tangguh, ulet, dan tak gampang menyerah.
Berangkat dari masa kelam penuh getir itulah muncul “baja” dalam dirinya. Baja bukan hanya logam kuat, tapi ia merupakan simbol dari ketangguhan, keberanian, dan konsistensi.
Dalam beragam hasil wawancara maupun tulisan yang jarang terekspos tentang dirinya, Hasan tampil tidak sekadar konsultan politik, melainkan sebagai pemikir yang gelisah akan arah bangsa.
Ia tanpa ragu meninggalkan tugas dan titipan tanggung jawab, jika ia merasa apa yang dikerjakannya tidak membawa makna apapun bagi kebaikan bangsa.
Ia ingin demokrasi yang dibangun di rahim Ibu Pertiwi ini benar-benar substantif, dalam arti ia lahir dari rakyat, bekerja untuk rakyat dan menderita dalam pelukan rakyat.
Akhirnya, di negeri yang kerap sibuk mengejar sensasi ketimbang substansi, Hasan Nasbi hadir sebagai paradoks yang menampar wajah elite.
Ia menunjukkan bahwa seorang pelayan publik semestinya bekerja untuk rakyat. Dan, seorang pekerja dalam sunyi tidak mesti membuktikan suaranya terdengar gahar. Cukup dengan segala bukti dan dedikasi, maka rakyat akan menilai dengan nurani dan kejernihan pikir.
Hasan Nasbi adalah cahaya sunyi dalam kegelapan yang telah lama menyelimuti negeri. Ia hadir membawa pelita untuk menerangi bangsa yang tengah terhuyung mencari jalan kebajikan.
Penulis adalah Ketua Umum Ikatan Media Online (IMO) Indonesia