Putraindonews.com – Jakarta | Guru Besar Politik, Ketahanan, dan Keamanan Universitas Padjadjaran (UNPAD) Muradi menekankan agar netralitas TNI/Polri harus dijaga, karena berkenaan dengan citra lembaga negara di hadapan publik. Bukan hanya TNI/Polri, juga Aparatur Sipil Negara (ASN) kemudian Badan Intelijen Negara (BIN) itu harus berada dalam posisi yang menjaga jarak.
“Karena dalam konteks TNI/Polri mereka kan punya kultur komando, jiwa korsa yang pada akhirnya itu akan membuat tidak objektif di mata publik,” tegas Muradi di Jakarta, Kamis (16/11/23).
Terkait pelibatan TNI/Polri dalam pemenangan salah satu pasangan calon (paslon) yang berkontestasi di Pilpres 2024, Muradi menyampaikan bahwa para personil TNI/Polri pun menginginkan agar mereka bisa bekerja profesional.
“Itu kemudian yang menjadi diskursus di internal TNI/Polri. Karena kalau kita melihat, mereka menginginkan tentara yang profesional. Jadi kalau kita diskusi, tidak ingin mereka ditarik ke sana-sini,” ujar dia yang juga mengajar di banyak lembaga pendidikan polisi dan tentara itu.
Muradi meneguhkan semangat internal TNI/Polri yang hanya ingin profesional. “Karena posisi mereka selalu mengatakan bahwa tentara profesional atau polisi profesional adalah tentara/polisi yang bisa menjalankan fungsi tugasnya secara objektif dan profesional,” jelasnya.
Menurutnya, sikap profesional itu membuat lembaga mereka dapat berdiri tegak di kancah nasional maupun internasional. “Karena dengan sikap profesional itu mereka bisa lebih berdaya dan punya wibawa di mata publik dan internasional,” ungkapnya.
Muradi menerangkan telah ada pernyataan terbuka dari petinggi TNI/Polri bahwa mereka netral dalam pemilu. Hal itu patut menjadi panduan bagi seluruh aparat. Kalaupun ada instruksi tertutup, Muradi menganggap hal itu sama dengan memundurkan lembaga negara itu.
“Apakah itu memang menjadi bagian dari strategi yang bersifat tertutup atau terbuka. Kalau tertutup, ya saya merasa tentara dan polisi kembali ke jaman purba. Jaman ketika mereka tidak lagi profesional,” tegasnnya.
*Potensi Perluasan Militer*
Sementara itu, Pengamat Militer dari ISESS, Khairul Fahmi mengatakan, kekhawatiran bahwa capres tertentu akan kembali memberikan peran sangat besar pada militer agak berlebihan.
“Saya kira kurang tepat jika kemudian kekhawatiran itu hanya dilekatkan pada Prabowo. Merujuk pada Presiden Jokowi hari ini yang notabene merupakan sosok sipil namun dinilai banyak pihak telah membuka jalan untuk perluasan peran militer,” katanya.
Hal itu, menurut Fahmi tertuang dalam Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), bahwa jabatan ASN tertentu dapat diisi dari prajurit TNI dan anggota Polri. Kemudian dalam kaitannya dengan Pilpres 2024, saat ini ada sejumlah purnawirawan yang bergabung dalam tim pemenangan semua capres-cawapres.
“Saya kira tidak ada garansi bahwa kandidat-kandidat lain tidak akan memberi peran besar pada militer. Faktanya, untuk pemenangan saja semua tim paslon diwarnai kehadiran tokoh-tokoh pensiunan jenderal TNI,” kata Fahmi.
Menurut dia, kekhawatiran soal militer keluar dari barak itu ibarat lagu lama yang diputar berulang kali. Sejak Pemilu Presiden pertama kali digelar pada 2004, isu ini selalu dilekatkan pada kandidat yang berlatar belakang militer. Nyatanya, saat ini masih berlaku UU TNI yang membatasi kiprah dan pelibatan TNI di luar tugas pokoknya.
“Kalaupun ada perubahan di masa depan, saya kira itu hanya akan menyangkut akomodasi kementerian dan lembaga pemerintah yang karena urusan dan kewenangannya, membutuhkan prajurit TNI aktif, namun belum diatur oleh UU yang berlaku saat ini,” jelasnya lagi.
Berdasarkan catatan, di Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran, ada 27 Purnawirawan TNI/Polri. Ganjar-Mahfud ada 5 Purnawirawan, dan Timnas Anies satu Purnawirawan sebagai ketua pemenangan. Red/HS