Pemaksaan Politik Dinasti Dinilai BRIN Hancurkan Demokrasi Rasional

Putraindonews.com – Jakarta | Politik dinasti untuk melanggengkan orang, seperti yang terjadi dalam keluarga Presiden Joko Widodo (Jokowi), berpotensi akan menghancurkan iklim demokrasi rasional di Indonesia. Sehingga berujung pada krisis konstitusi yang akan membawa dampak serius pada kehidupan demokrasi ke depan.

Penilaian ini disampaikan peneliti senior dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor dihubungi wartawan, Selasa (7/11), terkait dengan Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini yang tengah disorot atas Putusan MK 90/PUU-XXI/2023 lantaran dinilai sarat dengan nepotisme.

Presiden Jokowi, disebut Firman punya andil dalam putusan tersebut. Ditambah lagi salah satu Hakim Konstitusi, dalam hal ini ketuanya Anwar Usman, mempunyai hubungan kerabat dengan Jokowi, sehingga muncul penilaian putusan itu untuk memuluskan langkah Gibran Rakabuming Raka sebagai kontestan dalam Pilpres 2024.

“Dampak mengerikan dari kondisi saat ini ketika dibiarkan berlarut adalah hancurnya demokrasi rasional. Ya hancurnya demokrasi rasional,” tegasnya lagi.

Menurut Firman, demokrasi dibangun berlandaskan rasionalitas, bukan ikatan kekeluargaan atau keturunan.“Kalau seseorang secara rasional dari sisi pengalaman lebih banyak, kemampuan lebih baik, lebih teruji itu harus. Kalau dari anak kemarin sore simply (hanya karena) punya DNA yang sama dengan penguasa, itu demokrasi apa? Saya tidak mengerti itu,” jelasnya.

Firman mengatakan bahwa yang terjadi di Indonesia adalah politik dinasti. Para elite hanya bekerja atas dasar kepentingan mereka sendiri, tanpa mempertimbangkan pilihan masyarakat banyak, tanpa mempertimbangkan kehidupan politik di masa depan.

BACA JUGA :   Arinal Akan Buka Secara Resmi Pemaparan Visi Misi Bakal Calon Golkar

“Yang terjadi saat ini adalah ada proses yang nir-partisipasi dalam penentuan pengkandidasian orang-orang yang berhak maju atau tidak. Penentunya di sini, sayangnya adalah ikatan keluarga. Porsi ikatan keluarga lebih besar, bukan pertimbangan yang lain-lain,” pungkasnya.

Sebelumnya, profesor Politik Islam Global asal Australia, Greg Barton mengatakan langkah Jokowi melakukan segala cara untuk meloloskan anaknya sebagai calon wakil presiden (cawapres), sebagai tindakan yang terburu-buru.

“Sayang sekali dia (Jokowi) mau campur tangan dalam urusan keluarga. Kalau bisa lebih sabar, pasti orang tidak keberatan kalau anaknya dikasih dan disiapkan untuk masa depan. Tapi, ini seolah terlalu terburu-buru,” tegas Greg dalam podcast yang dipandu Akbar Faisal.

Dia menilai, putusan MK beberapa waktu lalu itu banyak membuat orang kecewa. Kemudian, hal ini berdampak pada wajah demokrasi di Indonesia.“Dalam beberapa hal ada pemerosotan demokrasi di bawah pemerintahan Pak Jokowi,” tuturnya.

Kekuatan Penuh

Sementara itu, pengamat politik Adi Prayitno mengatakan, meski ditinggal kawan lama, namun sikap Presiden Jokowi jelas.“Bagi Jokowi pasti jalan terus. Semua sudah terjadi. Gibran sudah daftar ke KPU berdampingan dengan Prabowo Subianto. Bagi Jokowi tak ada lagi melihat ke belakang,” kata Adi.

BACA JUGA :   Paparkan Visi Misi, TEC Siap Berikan Pengabdian Terbaik Untuk Kabupaten Lampung Selatan

Putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming sudah maju sebagai awapresnya Prabowo Subianto. Sebagai orang yang berkuasa, tentu Jokowi akan mengarahkan semua sumber daya untuk memenangkan anaknya.“Fokus ke depan menangkan Gibran dengan semua resource yang ada. Terutama yang konsisten di barisan Jokowi. Sementara yang beda sikap pasti ditinggalkan,” jelas Adi.

Sayangnya Jokowi jalan terus, meski teman lama seperjuangan di PDI Pernjuangan meradang. Hubungan keluarga Jokowi dengan partai yang membesarkan, PDI P bagai api dalam sekam. “Tidak ada yang mundur, tidak ada komunikasi. Tapi memang harus diakui bahwa saat ini Jokowi melawan pendukungnya sendiri yang selama ini pasang badan untuk membela Jokowi,” tegasnga lagi.

Menurut Adi, hubungan Jokowi dengan‘kawan lama’, sebut saja mantan Walikota Solo, FX Rudi, tokoh PDI P Solo, Seno Kusumoharjo, atau bahkan para petinggi PDI P tidak baik-baik saja. Dan, retaknya hubungan mereka tidak menguntungkan Jokowi.

“Secara persepsi tak menguntungkan Jokowi. Karena mereka meninggalkan Jokowi bukan hanya dengan luka hati, tapi dengan mengkritik habis Jokowi. Meski kini Jokowi mendapat kawan baru dari koalisi baru (Koalisi Indonesia Maju), namun Jokowi kehilangan orang-orang yang setia pasti sangatlah merugikan,” pungkasnya. Red/HS

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI

error: Content is protected !!