Putraindonews.com, Jakarta – Kecenderungan lembaga pengadilan ikut terbawa arus kepentingan politik elektoral belakangan ini mendapat kritikan dari banyak pihak, utamanya dari pengamat hukum tata negara.
Hal itu sebagaimana disampaikan pengamat hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Yance Arizona, bahwa pengadilan menurutnya harusnya membatasi diri untuk terlibat dalam kepentingan itu.
Pernyataan ini muncul tidak lepas dari tanggapan terhadap sikap Mahkamah Agung (MA) yang baru saja mengabulkan permohonan Partai Garda Republik Indonesia (Partai Garuda) terkait minimal batasan usia kepala daerah.
Dilansir dari Antara, Yance mengatakan bahwa berdasarkan pengalaman pengadilan di Amerika, pengadilan seharusnya menghindari diri untuk terlibat dalam proses pengujian peraturan yang akan mengubah aturan Pemilihan Umum (Pemilu) maupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
“Hal ini disebut dengan The Purcell Principle,” ujar dia, Jumat (31/5).
Menurutnya, apabila ingin dilakukan perubahan terhadap aturan pemilu/pilkada, keputusannya harus diterapkan untuk pemilu berikutnya dan bukan ketika proses pemilihan sedang berlangsung.
Ia mencontohkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penghapusan ambang batas parlemen empat persen. Diketahui, meski putusan itu dikeluarkan pada 2024, namun penerapannya diberlakukan pada Pemilu 2029.
“Dalam hal ini, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan penghapusan atau penurunan ambang batas parlemen sudah tepat karena tidak diberlakukan terhadap Pemilu 2024, tetapi Pemilu 2029,” ucap dia.
Diketahui, MA dalam Putusan Nomor 23 P/HUM/2024, menyatakan bahwa Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan KPU (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016. Red/HS