Putraindonews.com, Jakarta – Kebijakan Menteri Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) Bahlil Lahadalia terkait perubahan durasi izin impor bahan bakar minyak (BBM) menjadi per 6 bulan dan arahan pembelian ke PT Pertamina (Persero) oleh operator SPBU swasta dinilai blunder.
Imbas dari kebijakan tersebut, kerugian tidak hanya dialami badan usaha (BU) swasta, tetapi juga Pertamina.
Menanggapi itu, ekonom energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi, sebagaimana dikutip dari Bloomberg Technoz, berpendapat dua kebijakan yang ditempuh Menteri Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) Bahlil Lahadalia tersebut membuat Pertamina harus mengemban beban tambahan untuk mengimpor BBM untuk dijual ke SPBU swasta.
Menurut Fahmy, arahan Bahlil kepada Pertamina agar penjualan BBM tersebut dilakukan tanpa mengambil margin keuntungan yang tinggi justru membebankan badan usaha milik negara (BUMN). Apalagi, kata dia, Pertamina harus menanggung biaya pengiriman dan harga BBM yang lebih tinggi gegara dibeli mendadak.
Sementara itu, bagi perusahaan SPBU swasta, harga BBM yang dibeli dari Pertamina diprediksi lebih tinggi dari harga yang biasa diimpor secara langsung oleh perusahaan.
Fahmy menambahkan, hal tersebut akan menggerus margin keuntungan BU swasta dan—jika terjadi dalam jangka panjang — SPBU swasta berpotensi hengkang dari Indonesia.
“Jelas merugikan bagi Pertamina, merugikan bagi SPBU swasta; kemudian juga sudah terjadi PHK misalnya, atau juga kalau analisis saya, kalau tadi operational cost-nya itu meningkat, maka itu kan menggerus marginnya SPBU swasta,” ujarnya dikutip dari Bloomberg Technoz, Kamis (25/9). Red/HS