Putraindonews.com – Penangkapan oleh aparat militer Amerika Serikat (AS) terhadap para Mahasiswa yang melakukan aksi solidaritas Palestina, tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dan konstitusi negeri ‘Paman Sam’ tersebut. Padahal, konstitusi Amerika menjamin dan menyatakan semua pihak berhak menyampaikan pendapat.
Penaian ini disampaikan Ipan Nasution, Master International Affairs Candidate, School of International and Public Policy, Columbia University, berbicara secara daring dalam Gelora Talk bertajuk ‘Kampus Dunia Menyala Dukung Palestina, Pertanda Apa?’, Rabu petang (1/5/24).
Ipan menilai bahwa apa yang dilakukan pemerintahan AS dibawah pimpinan Presiden Joe Biden saat ini tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dan konstitusi Amerika.
“Sekitar 108 mahasiswa Columbia yang pro Palestina ditangkap oleh NYPD. Mereka diizinkan masuk dan menangkap mahasiswa dengan kendaraan militer oleh administrator kampus. Inilah yang menimbulkan resistensi yang luar biasa dari mahasiswa-mahasiswa dan dosen-dosen di Amerika,” katanya.
Aparat militer AS, lanjut Ipan, bertindak ketika mahasiswa melakukan aksi solidaritas untuk Palestina ditangkap dan (mahasiswa) diperlakukan seperti teroris. Hal ini tentunya menimbulkan serangan balik dari mahasiswa.
“Mereka melakukan siaran live di sosial media, sehingga kejadian di Columbia dapat diketahui secara luas secara langsung. Perkembangan informasi yang sangat cepat ini menjadi trigger bagi mahasiswa lainnya maupun mahasiswa dan dosen di seluruh dunia,” ujarnya.
Ipan mengatakan, Mahasiswa Columbia University sengaja mengkoordinir kesadaran secara global tentang perjuangan Palestina, karena keberadaan kampusnya di New York, yang merupakan pusat ekonomi dunia yang tidak pernah berhenti.
“Mahasiswa Columbia merupakan aktor-aktor perubahan. Tuntutan kami tetap tolak divestasi dan meminta Columbia University memutus hubungan finansial dengan Israel,” katanya.
Menurut Ipan, para mahasiswa yang berdemo terancam sanksi hingga tidak bisa ikuti wisuda, tetapi mahasiswa bertekad terus berdemonstrasi dengan mendirikan kemah, dan memboikot produk-produk yang terafiliasi dengan Israel.
“Mahasiswa Indonesia di Columbia juga dipersekusi, indentitasnya diungkap. Teman-teman kita yang perempuan yang berhijab di bilang teroris dan lain-lain. Jadi memang iklim di sini dalam beberapa bulan terakhir, sudah kurang kondusif,” ungkapnya.
Menjadi Literasi Mahasiswa di Dunia
Kesempatan sama, Muhammad Farid Imansyah, Master’s student at New York University-Educational Leadership Program, menambahkan aksi solidaritas Palestina yang dilakukan mahasiswa di AS diharapkan dapat menjadi literasi mahasiswa-mahasiswa di dunia, termasuk di Indonesia untuk menyerukan divestasi dari Israel.
“Putuskan hubungan dengan perusahaan-perusahaan yang memang banyak menyumbang untuk Israel, termasuk dalam edukasi dan pendidikan. Jika diboikot, maka profit untuk Israel akan benar-benar terganggu,” kata dia.
Farid mengajak mahasiswa Indonesia untuk memberikan edukasi ke masyarakat tentang Palestina dan memperjuangkan kemerdekaannya, termasuk melakukan aksi boikot terhadap produk perusahaan-perusahaan yang terafiliasi dengan Israel.
“Kawan-kawan di Indonesia bisa fokus untuk membangun generasi baru yang bisa membebaskan Palestina. Kalau generasi kita tidak bisa membebaskan Palestina sekarang, maka kita bisa menjadi generasi yang menyiapkan generasi berikutnya,” ajaknya.
Sedangkan Hanisa Zulistia, mahasiswi Al Azhar University, Kairo-Mesir mengatakan, keterlibatan mahasiswa Indonesia di Al Azhar untuk membantu Palestina dilakukan dengan menjadi relawan. Mahasiswa Al Azhar membantu mengantarkan bantuan secara langsung untuk Gaza, Palestina melalui perbatasan Rafah dan Mesir.
“Kita membantu sebagai relawan, ikut membantu hingga area perbatasan. Kita mengantarkan bantuan dari NU, Muhamadiyah, MUI, Baznas, pemerintah dan bantuan dari masyarakat Indonesia lainnya,” kata Hanisa.
Mahasiswa Indonesia di Al Azhar sengaja tidak melakukan aksi unjuk rasa seperti yang dilakukan mahasiswa AS dalam upaya solidaritas untuk Palestina, karena akan langsung dideportasi. Sehingga disepakati sebagai relawan saja untuk mengantarkan bantuan ke Palestina.
“Sebab, dari segi militernya disini sangat berbahaya, kita bisa ditangkap dan dideportasi, kalau kita terjun langsung ke tempat-tempat umum. Tetapi, kita para mahasiswa dan aktris dakwah ini terus berjuang untuk negara Palestina merdeka,” pungkasnya. Red/HS