Putraindonews.com – Kebijakan pemerintah membagikan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada organisasi masyarakat (Ormas) Keagamaan, bukti nyata kalau pemerintah sembarangan dalam mengelola sumber daya alam, khsususnya pada sektor energi dan sumber daya mineral atau ESDM.
Kritik pedas ini dilontarkan Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto dalam keterangan resminya, Kamis (6/6/2024) merespon kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Bahkan menurut Mulyanto, kebijakan tersebut juga sebagai tanda bahwa pemerintah tidak taat aturan atau sembarangan dalam mengurus sektor ESDM. Padahal kalau dibaca seksama aturan dalam Undang-Undang tentang Minerral dan Batu Bara (UU Minerba), izin pertambangan itu diajukan badan usaha paling tidak koperasi.
“Coba itu Pak Bahlil (Menteri Investasi) bagi-bagi IUPK untuk ormas. Ini akal-akalan pemerintah mengatur norma bahwa badan usaha yang sahamnya dimilik Ormas secara mayoritas. Itu kan norma baru yang tidak ada dalam UU Minerba,” sebut politisi PKS itu seraya menambahkan bahwa hal yang sama diutarakannya dalam Rapat Kerja Komisi VII DPR RI dengan Menteri ESDM Arifin Tasrif, kemarin.
Soal Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), sambung Mulyanto, pemerintah harusnya mengacu pada ketentuan UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara (Minerba), dimana penawaran IUPK terhadap wilayah pertambangan yang telah dikembalikan kepada Negara diprioritaskan untuk BUMN/BUMD bukan untuk badan usaha swasta, apalagi Ormas.
“Yang luar biasanya lagi Ormas akan diprioritaskan untuk mendapatkan IUPK. Padahal Kalau kita baca Undang-Undang nya, yang namanya prioritas tegas-tegas itu diberikan kepada BUMN/BUMD. Selain lembaga-lembaga tersebut di atas, IUPK diberikan melalui proses lelang,” tegasnya.
Seharusnya, menurut Mulyanto, pemerintah fokus pada permasalahan utama yang ada di sektor ESDM, dan bukan pada hal lain yang menyebabkan gagal fokus. Misalnya lifting minyak dalam negeri yang semakin jauh dari long term plan (LTP) 1 juta barel minyak per hari pada tahun 2030.
“Pemerintah terkesan tidak mendukung sektor ini atau setengah hati. Sementara kondisi makro industri migas tidak kondusif, karena massifnya gerakan EBT, investasi yang anjlok, natural declining, pengusaha asing yang sebagian hengkang, juga kelembagaan SKK Migas yang kontet. Jadi jangan heran kalau lifting minyak ini terus merosot baik target tahunannya maupun realisasinya. Boro-boro mendekati 1 juta barel per hari. Ini jadi halusinasi,” pungkasnya. Red/HS