Putraindonews.com – Lembaga survei Poltracking Indonesia, kena ‘semprit’ oleh Perkumpulan Survei Opini Publik (Persepi), karena menyerahkan dua dataset berbeda. Poltracking menyerahkan 2.000 data responden, namun setelah ditelusuri Persepi hanya ada 1.652 data responden, terait survei soal elektabilitas calon gubernur DKI Jakarta.
Namun, pakar politik Prof. Dr. Ikrar Nusa Bhakti dalam acara Kontroversi di stasiun TV Swasta di Jakarta, dikutip Senin (11/11/2024), justru memberi pembelaan terhadap Poltracking Indonesia.
Prof. Ikrar mengungkapkan kalau Poltracking Indonesia telah membuktikan diri sebagai lembaga survei paling akurat di Tanah Air. Konsistensi dan ketepatan prediksinya dari Pemilu 2014, hingga Pemilu 2024 menunjukkan keunggulan metodologi dan integritas data yang tak terbantahkan.
“Prestasi ini semakin mengukuhkan posisi Poltracking sebagai tolok ukur lembaga survei politik nasional paling akurat,” sebut Prof. Ikrar yang mengaku masih Hanta Yuda, selaku pendiri dan Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia, pernah membuat satu pernyataan ketika dia melakukan quick count, dimana hasil survei Poltracking Institute itu lah yang paling mendekati hasil dari pemilu 2014.
Pernyataan Guru Besar di Pusat Penitian LIPI tersebut yang juga menunjukkan bahwa sejak awal, Poltracking adalah lembaga survei yang paling jernih dalam melihat kontestasi demokrasi. Ia menambahkan kalau Poltracking membuktikan kredibilitas sebagai lembaga survei yang mampu mempertanggung jawabkan data secara akurat.
“Jadi yang saya katakan di sini berarti dia melakukan, Poltracking pada saat itu melakukan dengan benar-benar sangat baik, khususnya ketika setelah polling itu terjadi,” jelasnya.
Akurasi Poltracking Indonesia tidak berhenti di tahun 2014. Pada Pilpres 2019, lembaga ini kembali menunjukkan tajinya dengan merilis hasil survei yang paling mendekati hasil resmi KPU RI. Survei yang dilakukan pada 1-8 April 2019 menunjukkan elektabilitas pasangan Jokowi-Ma’ruf sebesar 54,5 persen dan Prabowo-Sandiaga 45,5 persen.
Keakuratan ini dicapai berkat metode canggih yang diterapkan Poltracking. Survei dilakukan menggunakan model prediktif yang menghasilkan nilai probabilitas, digunakan untuk memprediksi arah pemilih yang belum menentukan pilihan. Metode ini menunjukkan keunggulan Poltracking dalam mengelola data undecided voters.
Komitmen Poltracking terhadap akurasi dan keterwakilan data. lanjut Prof. Ikrar, terbukti melalui metode multistage random sampling yang diterapkan. Dengan sampel sebanyak 2.000 responden dan margin of error ±2,2 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen, Poltracking menunjukkan standar tinggi dalam pengumpulan dan analisis data.
Prestasi Poltracking terlihat pada Pilpres 2024 terus berlanjut, di mana lembaga ini menempati posisi teratas dalam perbandingan hasil quick count dengan rekapitulasi KPU dari seluruh lembaga survei yang tergabung dalam PERSEPI. Poltracking menunjukkan keunggulannya dengan menggunakan sampel hingga 3000 TPS di seluruh wilayah Indonesia, jauh melebihi standar lembaga survei lainnya.
Hasil quick count Poltracking untuk Pilpres 2024 menunjukkan akurasi luar biasa. Dengan data masuk 100%, prediksi Poltracking hanya berselisih rata-rata 0,12% dari hasil resmi KPU. Ini menunjukkan tingkat presisi yang belum pernah tercapai sebelumnya dalam sejarah survei politik Indonesia.
Keberhasilan Poltracking tidak hanya terletak pada angka-angka, tetapi juga pada kepercayaan publik yang terus meningkat. Konsistensi akurasi dari pemilu ke pemilu telah mengubah skeptisisme masyarakat menjadi keyakinan terhadap integritas dan profesionalisme Poltracking.
“Pencapaian Poltracking ini menjadi bukti nyata bahwa lembaga survei Indonesia mampu bersaing di kancah internasional. Dengan track record yang konsisten dan metodologi yang terus disempurnakan, Poltracking tidak hanya menjadi kebanggaan industri survei nasional, tetapi juga menjadi acuan bagi lembaga-lembaga serupa di seluruh dunia,” demikian Prof.Dr. Ikrar Nusa Bhakti.
Sebelumnya, Ketua Perkumpulan Survei Opini Publik (Persepi), Philips J. Vermonte menjelaskan alasan Dewan Etik menjatuhkan sanksi karena Poltracking Indonesia menyerahkan dua dataset berbeda.
“Jadi, kesimpulan awal ada sekitar 348 data yang tidak valid. Poltracking menyatakan sisa data tersebut ada di server. Mereka menggandeng vendor terkait penyimpanan data di server. Dua dataset yang dikirimkan Poltracking saling menunjukkan ketidaksesuaian. Alhasil, Dewan Etik tidak bisa memastikan keabsahan data survei,” kata Philips.
“Misalnya, ya, disebutkan (dataset pertama) kuesioner nomor sekian, ibu ini di kelurahan ini, tetapi di dataset yang kedua, yang sudah lebih rapi itu, kelurahannya sudah bukan di situ lagi. Sudah pindah,” ujar Philips menambahkan.
Selain itu, lanjut Philips, manajemen data Poltracking juga dinilai berantakan, karena terdapat duplikasi data responden yang sama. Dari 2.000 sampel yang diambil Poltracking, hanya 1.652 data yang valid. Padahal, Poltracking merilis hasil surveinya ke publik dengan klaim 2.000 responden sehingga tidak sesuai. Red/HS