Putusan Soal Ambang Batas Pencalonan di Pilkada Timbulkan Turbulensi Politik, Qodari Usul MK Dibubarkan

Putraindonews.com – Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari mengatakan, panasnya hubungan antara Mahkamah Konstitusi (MK) RI dan DPR RI, hingga menyebabkan turbulensi politik, bukan hanya sekedar menerima atau menolak putusan MK soal ambang batas atau threshold pencalonan di Pilkada.

“Tetapi DPR RI sudah jauh-jauh hari sudah banyak menolak putusan MK, karena MK itu yudikatif, tapi kerjanya Legislatif. Ini berbahaya, bisa menimbulkan situasi anarkis. Karena memang konstitusi kita menyebutkan pembuat Undang-Undang itu pemerintah dan DPR RI, bukan MK,” kata Qodari diskusi Gelora Talk dengan tema ‘Pilkada 2024 Pasca Putusan MK: Kemana Kehendak Rakyat?’ yang disiarkan di channel GeloraTv, dikutip Kamis (29/8/2024).

Jika MK masih seperti ini, Qodari mengusulkan agar keberadaan lembaga tersebut dibubarkan, atau di dalam konstitusi ditulis bahwa pembuat Undang-Undang (UU) itu MK, bukan DPR RI atau pemerintah.

BACA JUGA :   Pangi Chaniago: Di Sisa Waktu Kabinet Jokowi, Hadi dan AHY Perlu Cepat Beradaptasi

“Putusan MK jadinya kayak TAP MPR RI, padahal MK bukan Lembaga Tertinggi Negara, dan juga Lembaga Tinggi yang dipilih rakyat. Karena itu, ini menjadi gawat menimbukan turbulensi seperti sekarang,” sebut dia lagi seraya menambahkan, turbulensi politik semakin-makin menjadi-jadi karena pelaksanaan Pilkada digelar menjelang penyusunan kabinet pada Oktober mendatang.

Dikesempatan sama, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Periode 2021-2022 Ilham Saputra mengatakan, putusan MK soal ambang batas pencalonan kepala daerah ini sebagai keputusan di luar batas, meskipun putusan tersebut, mendapatkan dukungan dari masyarakat.

BACA JUGA :   Gerindra Tanggapi Susunan Kabinet yang Beredar di Medsos

“Saya ingin menggaris bawahi pernyataan Bang Doli, sebenarnya evaluasi penyelenggaraan Pilkada ini sudah jauh-jauh hari sudah dilakukan pemerintah dan DPR RI. Sistem Pemilu, termasuk Pilkada memang harus dievalusi,” kata Ilham.

Evalusi tersebut, lanjutnya, perlu segera dilakukan jika melihat kondisi penyelenggaraan pemilu dan kondisi di masyarakat sekarang. Namun, evaluasi pemilu tidak harus dengan mengganti undang-undang setiap selesai pemilu.

“Evalusi itu tidak harus bongkar pasang ganti undang-undang setiap selesai pemilu. Pemilu itu pemikirannya harus demokratis, bersih, penyelenggaranya profesional mandiri, sesuai konstitusi dan lain-lain. Kalau sekarang tidak jelas, sehingga banyak menimbulkan komplain di masyarakat,” pungkasnya. Red/HS

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI

error: Content is protected !!