Putraindonews.com, Tangerang Selatan – Suara alat berat menggema di kawasan Terminal Roksi, Ciputat, Minggu (22/6/2025). Bangunan-bangunan yang selama belasan tahun menjadi tempat tinggal dan usaha warga satu per satu roboh tanpa ampun. Tak ada aba-aba, tak ada konfirmasi—dan yang paling menyakitkan, tak ada dialog.
Sebagian besar warga yang tinggal di kawasan itu merupakan warga Tangerang Selatan. Mereka telah membangun kehidupan sejak 10 hingga 15 tahun lalu. Namun, semuanya berubah seketika ketika kebijakan penggusuran oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan dijalankan tanpa ruang komunikasi.
Upaya warga untuk menyuarakan pendapat dan meminta audiensi dengan Dinas Perhubungan (Dishub) Tangsel, nyatanya berakhir sunyi. Tiga surat resmi dikirimkan, namun tidak satu pun direspons.
“Kami hanya ingin bicara baik-baik. Soal akses jalan, keselamatan anak-anak sekolah. Tapi mata dan telinga pejabat seolah tertutup,” ujar Stefanus Tarigan, perwakilan warga.
Aspirasi yang Terabaikan Setelah Pilkada
Kekecewaan warga kian dalam karena mereka merasa hanya dibutuhkan saat pemilihan kepala daerah. Saat Pilkada 2024, para calon pemimpin hadir merangkul. Kini, suara warga tak lagi didengar.
“Dulu mereka datang ke rumah-rumah, janjikan perubahan. Sekarang? Menjawab surat kami pun tidak,” imbuh Stefanus.
Ia menegaskan bahwa surat pertama dikirim beberapa bulan lalu, disusul dua permohonan lanjutan. Semuanya bersifat damai, tanpa tekanan.
“Kami tidak anarkis, tidak provokatif. Kami hanya ingin dialog,” tegasnya.
Namun, suara itu seakan tenggelam dalam dinding birokrasi yang kaku. Alih-alih audiensi, yang datang justru surat perintah penggusuran dari Satpol PP.
Jawaban Pemkot dan Sikap Tegas Wakil Walikota
Menanggapi kondisi ini, Wakil Walikota Tangsel Pilar Saga Ichsan mengatakan bahwa kawasan Terminal Roksi akan digunakan sebagai area penitipan kendaraan di bawah pengelolaan Dishub Tangsel.
“Dulu mereka bilang untuk berdagang. Tapi belakangan ada laporan banyak aktivitas negatif. Kita juga perlu menyelamatkan aset milik Pemkot,” ujar Pilar di lokasi penggusuran.
Sementara itu, anggota DPRD Tangsel, Steven Jansen, turun langsung ke lokasi dan menegaskan dukungannya terhadap penegakan hukum, namun tetap memperhatikan sisi kemanusiaan.
“Untuk tempat hiburan, memang harus dibongkar. Tapi untuk warga, sebaiknya diberi waktu membongkar sendiri. Kami ingin pelaksanaan kondusif dan tidak ada gesekan,” kata Steven.
Suara Rakyat atau Suara yang Dilenyapkan?
Di tengah hiruk-pikuk penggusuran, satu hal yang paling disorot warga adalah hilangnya ruang dialog. Mereka merasa dikhianati, bukan oleh alat berat, tapi oleh diamnya birokrasi.
Penggusuran memang bisa dilihat sebagai bagian dari penataan kota. Namun, ketika komunikasi tak diberi ruang, maka kemarahan publik akan selalu jadi residu dari pembangunan.
Bagi warga Roksi, pertanyaan terbesarnya kini bukan sekadar soal tempat tinggal atau penghidupan, tapi tentang satu hal yang lebih mendasar: masihkah suara rakyat punya arti di tengah kekuasaan? Red/HS