Cegah Konflik Investasi di Papua, Filep Wamafma: Perlu Ada Regulasi Khusus Libatkan Masyarakat Adat

Putraindonews.com-Senator Papua Barat, Dr. Filep Wamafma menyoroti beragam konflik investasi yang kerap kali bersinggungan dengan masyarakat adat di tanah Papua. Pasalnya, konflik investasi sering terjadi lantaran berkaitan dengan penggunaan tanah ulayat yang memunculkan reaksi berupa tuntutan masyarakat adat sehingga akhirnya memicu terjadinya konflik tersebut.

Menurut Filep Wamafma, hadirnya investasi harus berbanding lurus dengan manfaat signifikan terutama bagi kepentingan rakyat. Ia mengatakan, prinsip utama yang harus dipegang dalam pemberian investasi ialah kemudahan bagi investor tanpa merugikan kepentingan rakyat. Kepentingan rakyat yang dimaksud ialah kepemilikan hak atas tanah.

Ia pun memberikan sejumlah rambu-rambu realisasi investasi di daerah yang dinilai ideal untuk menghasilkan investasi yang adil dan memperhatikan keberlanjutan lingkungan.

“Sebagai senator, saya mencermati persoalan dan dinamika konflik yang berkembang di masyarakat Papua terkait masuknya investasi. Dalam praktik percepatan investasi yang berkaitan dengan pertanahan, perlu diperhatikan hal-hal pokok seperti pertama, kepastian waktu dalam seluruh proses pengadaan tanah mulai dari tahap perencanaan, persiapan, pelaksanaan, dan penyerahan hasil. Kedua, kepastian dan kejelasan pembagian tanggung jawab ke beberapa lembaga dalam proses persiapan dan pelaksanaan,” ujarnya kepada awak media, Senin (20/5/2024).

“Lalu ketiga, kejelasan dalam objek musyawarah terkait bentuk dan/atau ganti kerugian. Keempat, kepastian terkait ketentuan konsinyasi, kelima kepastian terkait pengadaan tanah di kawasan industri dan Kawasan Ekonomi Eksklusif. Keenam, kepastian dan kejelasan mengenai hak-hak masyarakat adat atas tanah ulayat yang menjadi bagian dari investasi, ketujuh, adanya perlindungan terhadap masyarakat yang terlibat dalam konflik agraria, termasuk di wilayah Proyek Strategis Nasional (PSN) dan kedelapan, adanya kepastian dan kejelasan terkait tafsir-tafsir regulasi pertanahan,” sambungnya.

Berkaca dari prinsip utama yaitu kemudahan bagi investasi tanpa merugikan kepentingan rakyat, Filep menekankan seluruh kebijakan yang diambil tidak boleh bertentangan dengan kerangka dan konsep peruntukan serta penggunaan tanah sebagai maksud dari Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945. Ia mengingatkan agar sifat populis Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tidak berubah nuansa menjadi kapitalis.

BACA JUGA :   Filep Wamafma Apresiasi Penyaluran Dana Hibah Otsus untuk Perguruan Tinggi di PBD: Bagaimana dengan Papua Barat?

Kondisi saat ini, lanjut Pace Jas Merah itu, lahirnya UU Cipta Kerja sedikit banyak sudah menampilkan wajah kapitalis itu, misalnya dengan memperluas jangkauan makna kepentingan umum, sehingga bukan saja atas nama kepentingan infrastruktur dilakukan peralihan hak atas tanah, melainkan juga mencakup hilirisasi pertambangan, kawasan ketahanan pangan, serta kawasan industri dan pariwisata premium.

“Dari UU Cipta Kerja, lahir PP Nomor 42 Tahun 2021 tentang Kemudahan PSN, PP No 64/2021 tentang Badan Bank Tanah, PP No 19/2021 tentang Pengadaan Tanah, dan PP No 18/2021 tentang Hak Pengelolaan, yang tentu saja perlu diperiksa lebih jauh terkait penerapannya di lapangan. Di luar itu, lambannya pemerintah untuk menuntaskan persoalan Hak Guna Usaha (HGU), menjadi faktor krusial dalam investasi. Bahkan, pemeriksaan KPK menemukan ada 8,3 juta hektar lahan HGU yang belum terpetakan sehingga menimbulkan konflik vertikal. Selain itu, proses sertifikat luas HGU di Indonesia masih banyak yang belum terpetakan,” jelasnya.

Dalam konteks Papua, Filep menilai peralihan tanah lebih banyak diakomodir melalui peralihan adat, yang diklaim lebih memberikan kemudahan bagi investasi. Oleh karena itu, ia menekankan perlu adanya regulasi yang bersifat khusus terkait investasi yang dilakukan di atas tanah daerah Otonomi Khusus (Otsus) mengingat daerah Otsus memiliki kekhususan dalam upaya percepatan pembangunan.

“Jadi adanya regulasi khusus ini penting sekali ya. Regulasi khusus ini harus menyangkut jaminan perlindungan dan kesejahteraan bagi Orang Asli Papua, jaminan akan adanya afirmasi positif bagi OAP, dimana OAP dilibatkan dalam investasi, baik dalam bentuk aktif rekrutmen kerja, maupun pasif dalam kepemilikan saham investasi,” tegasnya.

BACA JUGA :   Datangi DPD RI, Asosiasi MRP Minta Dukungan Proteksi Hak Politik Orang Asli Papua

Mendukung hal itu, Filep mendorong RUU Masyarakat Adat menjadi agenda prioritas pada pemerintahan mendatang, termasuk UU Penanaman Modal yang perlu diamandemen dalam rangka menjawab persoalan investasi di daerah.

Lebih lanjut, Doktor Hukum lulusan Unhas Makassar itu mempertegas hal tersebut dengan merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, yang menggarisbawahi bahwa masyarakat adat memiliki hak penuh atas tanah, wilayah dan sumber daya alam, termasuk atas hutan adat. Menurutnya, Pengakuan terhadap hak-hak ini, merupakan bagian dari pemenuhan hak asasi yang melekat pada masyarakat adat dan dijamin oleh UUD 1945. Selain itu, dalam putusan tersebut, MK menegaskan bahwa Hutan Adat adalah Hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi Hutan Negara.

“Nah anehnya, meskipun sudah ada Putusan MK ini, konflik masih sering terjadi karena ketidakpastian status hak masyarakat adat di kawasan hutan. Padahal dengan alur pemikiran MK ini, pemerintah harus memperhatikan hal-hal utama yakni: (1) masyarakat hukum adat adalah subjek hukum dan pemegang hak atas kawasan hutannya termasuk tanahnya, sehingga harus dihormati oleh pemerintah, termasuk dalam ganti untung investasi. (2) Penyelesaian konflik kehutanan yang berkaitan langsung dengan kepemilikan hak atas tanah adat, dilakukan dengan tetap mengutamakan hak-hak masyarakat adat di masa mendatang,” urai Filep.

“Patut diingat juga bahwa persoalan investasi dan pertanahan sejatinya melibatkan berbagai sektor dan instansi misalnya Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Kementerian Keuangan, dan lain sebagainya. Di titik inilah mutlak perlu koordinasi dengan melepaskan ego sektoral, agar kepentingan populis masyarakat didahulukan atau setidaknya diperhatikan sebagai entry point bagi semua jenis investasi,” tegasnya.Red/HS

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI

error: Content is protected !!