Putraindonews.com-Komite I DPD RI pada Tahun 2024 ini memprioritaskan penyusunan RUU inisiatif DPD RI tentang Perubahan Kelima UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan telah menyelesaikan tahapan finalisasi melalui Sidang Pleno Komite I pada hari Senin (10/6/24).
Kegiatan finalisasi dipimpin langsung oleh Ketua Komite I DPD RI H. Fachrul Razi, M.IP., MH. bersama dengan para Wakil Ketua yaitu Prof. Sylviana Murni dan Dr. Filep Wamafma. Selain itu dihadiri juga oleh para Senator dan Tim Ahli di bawah pimpinan Prof. Djohermansyah Djohan.
Beberapa isu strategis diangkat menjadi substansi RUU, diantaranya mengenali penataan daerah, urusan pemerintahan, kelembagaan, keuangan daerah, pembinaan dan pengawasan dan sebagainya.
Di antara isu-isu tersebut salah satu isu yang diangkat menjadi materi revisi UU Pemda antara lain mengenai penataan daerah. Hingga saat ini terdapat barrier besar yang menghambat pemekaran daerah, yaitu belum terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) tentang Desain Besar Penataan Daerah (Desartada) sebagaimana diamanatkan oleh UU Pemda. Dengan belum diterbitkan PP tentang Desartada sampai dengan saat ini oleh pemerintah berdampak pada terhambatnya pemekaran daerah. Padahal, sudah lebih dari 186 calon daerah otonom baru (DOB) yang menyampaikan aspirasinya kepada DPD RI untuk dimekarkan.
Dalam naskah RUU Perubahan atas UU Pemda, Komite I membuat terobosan hukum dengan memformulasikan rumusan yang progresif terkait pemekaran daerah ini. Apabila UU Pemda eksisting meminta dibentuknya PP tentang Desartada yang memuat perkiraan jumlah daerah pada periode tertentu, maka ketentuan tersebut yang menjadi penghambat pemekaran daerah selama ini dan dalam ini dihapuskan dalam draft RUU.
Menurut Ketua Komite I DPD RI H. Fachrul Razi, apabila kelak rumusan baru tentang penataan daerah dalam revisi UU Pemda ini dapat disahkan, maka pintu pemekaran daerah akan otomatis terbuka. Daerah yang sudah siap untuk dimekarkan dapat langsung memulai proses pemekarannya. Namun tentu saja, lanjut Senator Razi, pemekaran tetap akan selektif dan terbatas untuk mencegah adanya ledakan pemekaran daerah. Itulah sebabnya tahapan daerah persiapan dalam proses pemekaran tetap dipertahankan.
“Melalui revisi UU Pemda ini, DPD RI sebagai perwakilan daerah akan terus memperjuangkan aspirasi daerah untuk dapat mewujudkan pengembangan dan kemandirian daerah, demi terwujudnya demokrasi lokal, kemandirian daerah dan kesejahteraan masyarakat daerah, ” ujar Fachrul Razi.
Muatan lainnya yang turut dibahas adalah tentang kelembagaan dan status Satpol PP dan Camat dalam UU Pemda eksisting. Menurut Senator Razi, satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) memiliki fungsi yang sangat menentukan dalam penegakan ketertiban umum, peraturan dan regulasi daerah. Sebagai ujung tombak dari penegakan hukum daerah, Satpol PP merupakan organ pemerintah yang sering berhadapan langsung dengan berbagai peristiwa konkrit di masyarakat. Bahkan, tidak jarang harus bergesekan dengan masyarakat demi tegaknya hukum di daerah.
“Namun demikian, dengan fungsi setrategis itu, perhatian dari pemerintah terlihat minim. Bahkan, arah kebijakan hukum pemerintah cenderung kurang berpihak kepada Satpol PP, khususnya terkait status kepegawaian, ” tambahnya.
Seiring dengan terbitnya Keputusan Menpan RB Nomor 11 Tahun 2024 tentang Jabatan Pelaksana Aparatur Sipil Negara, terdapat indikasi status Satpol PP honorer akan dikonversi menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Padahal, Pasal 256 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) menghendaki status kepegawaian Satpol PP adalah sebagai jabatan fungsional Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Razi yang merupakan Senator dari Provinsi Aceh ini melanjutkan, bahwa sikap Komite I jelas, yaitu tidak setuju dengan alih status Satpol PP menjadi P3K. Pertama, karena secara terang-terangan melanggar UU Pemda Pasal 256. Melanggar UU Pemda berarti melanggar konstitusi, dan melanggar konstitusi sama saja dengan melanggar Pancasila.
Kedua, dengan melihat sifat, beban dan risiko kerja Satpol PP, maka sudah semestinya terhadap 90 ribu Satpol PP saat ini diberikan status PNS yang memiliki kesejahteraan lebih baik daripada P3K, terlepas dari kedua-duanya digolongkan sebagai ASN. Posisi Satpol PP sangatlah strategis dan layak diperjuangkan menjadi PNS dengan sebuah filosofi bahwa Satpol PP adalah manusia yang perlu dimanusiakan. Satpol PP sudah mengabdi untuk negara, pemerintah, berdinas dengan meninggalkan keluarga dan rela berkorban menjadi ujung tombak pemerintahan. Pemerintahan akan tertib kalau Satpol PP kuat. Pemerintahan yang tidak tertib atau terganggu, akan menyebabkan investasi juga akan tertanggu dan apabila investasi terganggu maka ekonomi pun akan merosot yang akhirnya memicu kemiskinan. Itulah sebabnya, Satpol PP harus diperjuangkan status kepegawaiannya. Apalagi, tidak sedikit pula Satpol PP yang sudah lama mengabdikan dirinya bahkan sampai ada yang 18 tahun namun tetap tidak mendapat kejelasan status.
Selanjutnya, terkait dengan jabatan camat, Razi juga menilai perlu ada penguatan terhadap pengisian jabatan dan kewenangan camat. Saat ini setidaknya ada dua permasalahan mendasar terkait dengan camat. Pertama, jabatan camat acapkali tidak diisi oleh orang yang kompeten atau memiliki latar belakang pendidikan di bidang pemerintahan. Kedua, masalah keterbatasan kewenangan camat terutama untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pemerintahan dibawahnya, yaitu desa.
“Dua hal ini yang mesti dibenahi. Untuk itu, melalui prakarsa revisi UU Pemda, Komite I akan memastikan untuk mengawal penguatan atas status Satpol PP sebagai PNS dan penguatan kewenangan camat untuk menjamin efektivitas penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan yang menjadi cakupan tugasnya, ” jelasnya.
RUU tentang Perubahan Kelima Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah setelah diketok dalam kegiatan finalisasi ini selanjutnya akan memasuki tahap akhir yaitu proses harmonisasi antara Komite I dengan Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD RI dan selanjutnya RUU akan disahkan dalam Sidang Paripurna DPD RI pada bulan Juli nanti.Red/HS