***
Putraindonews.com – Jakarta | Kaum urban merupakan jantung pembentuk kehidupan kota, demikianlah ihtisar dasar menggambarkan pola kemajuan sebuah kota. Citayem Fashion Week (CFW) bukan lagi bicara soal menghabiskan waktu dan membelanjakan uang pada barang bermerek. Peristiwa CFW lebih kepada sinyal munculnya ide akan kebutuhan ruang ekonomis yang lebih menghargai kelas sosial mereka.
Anak muda memang sering acak dan coba-coba tetapi di sanalah letak permasalahan dasar, ekonomi anak mudah tidak dapat selalu dikonformsi letak dari bentuk apa itu kemapanan. Sejatinya mode konsumtif dan kreasi semacam ini tidak lepas dari gambaran pasar yang hampir sama, yakni tidak pernah mengalami situasi estabilis. Hal tersebut diungkap Eric Hermawan Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia dan Staf Pengajar STIAMI Jakarta, Kamis 28/7/22
Eric juga menuturkan bahwasanya anak muda dan ekonomi sebuah ikatan dari kenikmatan berbalut pasar. Tentu sangat berbeda dengan konsep Thorstein Veblen (1857-1929), sosiolog dan ahli ekonomi Amerika, menjadikan the leisure class (kelas yang menikmati hidup) sebagai tema buku The Theory of The Leisure Class (1899).
Kekayaan dianggap memberikan prestise kepada pemiliknya bila kekayaan itu dipamerkan atau diobral. Sebagai gambaran, istri dari pejabat tinggi sering ‘membuang-buang waktu dan uang’ untuk meningkatkan prestise suami. Perilaku itu membuktikan suaminya memiliki kekayaan cukup besar untuk diobral.
Busana adalah mesin komunikasi. Dengan kata lain, busana adalah sistem simbol. Ia mengatakan lebih banyak hal yang terlihat daripada benda itu sendiri. Walaupun pemborosan uang dan waktu masih terjadi karena dianggap prestise, kalangan atas yang sudah begitu nyata kaya tidak merasa perlu lagi pamer.
“Di zaman egaliter, pameran kekayaan malahan dianggap selera rendah, kecuali di kalangan nouveaux riches atau OKB (orang kaya baru)”. Kata Eric
Adapun, Anak muda dari Citayem (lokasi simbolis) tersebut hanya memastikan ruang baru mereka bukan sebatas bermain dan berprilaku konsumtif. Dengan taraf ekonomi rendah, membuat mereka memilih mengakses informasi pasar dari prodak lokal dari pada global. CFW seperti oase budaya tanding walau tak berimbang dari prodak hasil karya anak lokal dengan kehidupan SCBD yang nyaris dipenuhi iklan brand global.
Kita sanksikan terlebih dahulu apakah perilaku konsumtif demikian baik dan buruk. Alat ukur yang kita harus pakai dalam melihat peristiwa CFW justru terletak bagaimana pribadi anak muda tanpa pekerjaan dan jaminan (precariat class) dapat menjelaskan merek barang, transaksi, dan reseller. Ini bukan pekerjaan mudah. Bandingkan dengan kebiasaan pola konsumtif warga perkotaan yakni beli, pakai, dan buang. Anak mudah CFW juga menjadi mata rantai renewble prodak pakaian bekas impor yang digandrungi kerena variatif murah, dan layak dipakai kembali.
Posisi Ruang
Pengayaan ekonomi pada teknologi digital tidak sepenuhnya dijangkau dan diaplikasikan untuk menjemput kesejahteraan. Ruang ekonomi semacam itu masih penuh masalah bagi kalangan muda pinggiran kota dalam membangun literasi dan relasi kuat. Ikut campurnya pemerintah dan pengambil kebijakan harus muncul untuk mengikatkan ruang sosial berbalut ekonomi. Penemuan anak muda Citayem justru menjadi satire dari disparitas ruang perkotaan yang selalu menjadi ruang hidup tontonan pasar elitisme.
Dalam konteks globalisasi pilihan lebih banyak ditentukan oleh apa yang terlihat pancaindra. Pilihan ini bukan digerakkan daya nalar yang sehat, melainkan hanya sekadar pemenuhan akan kebutuhan penyenangan indrawi belaka. JC Wright Mills, sosiolog Amerika dalam The Power Elite (1956) melukiskan elite metropolitan berbeda dari kelompok-kelompok lain karena latar belakang, penampilan, dan perilaku mereka. Bentuk rumah, tatanan rumah, dan cara mereka berpakaian mencerminkan posisi elite. Barang-barang yang dibeli mungkin tidak kelihatan mahal, namun berselera tinggi. Barang-barang itu pun bukan untuk sengaja dipamerkan, tetapi sudah menjadi bagian hidup mereka. Berbeda sekali dengan CFW bermodal nekat merambah kota kini menjadi trendsetter.
Pelaku UMKM harus dialirkan pada pegiat muda-mudi ini. Apalagi kebanyakan dari mereka kehilangan kesempatan sekolah. Selain berbagi ruang ekspresi, CFW dapat menjadi alur promosi UMKM dalam dunia fashion. Ruang bisni fashion juga amatlah mahal. Promosi prodaknya pun butuh perencanaan matang dan menghabiskan banyak peran seumberdaya. Bukankah di negara berlimpah penduduk muda dengan pengangguran tinggi, industri padat karya seperti mode adalah pilihan logis. Siapa tahu faktor pamor CFW itu mencukupi ekspektasi fashion ekspor ke mancanegara bermodal ruang perkotaan dan anak muda.
Mengikuti pernyataan Malcomn Barnard (2009) bahwa fashion bukan hanya cara mengkomunikasikan identitas, tapi juga sebuah upaya mendominasi dalam suatu tatanan sosial. Fashion juga bagian dari proses yang dilakukan seseorang atau kelompok sosial dalam membangun, menopang, dan memproduksi posisi sosial. Matematika bisnis seharusnya melandasi promosi talenta ke mancanegara. Siapa dan berapa besar target pasar di negara promosi, seberapa ketat kompetisi, siapa media yang harus didekati dan serealistis apa rantai distribusi bila dapat pembeli? Mode adalah industri keras di mana kreativitas harus ditopang perencanaan bisnis matang untuk bertahan.
Hal ini merupakan ujian tambahan pada UMKM berkompetisi di wilayah ini. Apalagi CFW sangat berpotensi dikapitalisasikan oleh pihak bermodal tertentu, yang nantinya berpotensi memutus rangkaian habitus ekpresi anak muda pada ruang fashion pungkasnya. Red/Ben
***