Putraindonews.com, Pekanbaru – Di tengah arus modernisasi dan tren gaya busana pernikahan yang terus berkembang, tokoh adat Karo di Pekanbaru, Riau, kembali mengingatkan pentingnya menjaga kemurnian dan kesakralan adat dalam tata cara berpakaian pengantin. Hal ini ditegaskan oleh Damanus Ginting, S.Pd, dosen pembimbing adat Karo dan Sekretaris Jenderal DPC Himpunan Masyarakat Karo Indonesia (HMKI) Kampar-Riau.
Menurut Damanus, penggunaan ornamen dan busana adat dalam pernikahan Karo tidak hanya sekadar simbol estetika, melainkan sarat makna filosofis yang mencerminkan nilai-nilai luhur budaya Karo. “Ada makna dalam setiap lapisan uis, setiap susunan emas, setiap simbol di kepala pengantin. Itu bukan hiasan semata, tapi penguat identitas,” ujarnya.
Busana Sakral untuk Pengantin Pria dan Wanita
Bagi pengantin laki-laki (Sidilaki), penggunaan Uis Beka Buluh pada kepala adalah hal mutlak dan tidak bisa digantikan. Kain adat ini harus dikenakan secara khusus, dengan arah simpul yang menghadap ke belakang. Uis ini dilengkapi dengan satu buah Sertali Emas-emas di bagian Bulang-bulang, yang melambangkan “Sada ngenca utang adatna,” atau satu utang adat dari Kalimbubu Simada Dareh, tokoh yang memegang peran utama dalam prosesi adat.
Lima buah Sertali Emas-emas lainnya dikalungkan di leher pengantin pria, mewakili filosofi Merga Silima dan Tapak Salah Silima-lima, yang menjadi pilar dalam struktur masyarakat Karo. Selempang yang dikenakan juga harus berada di bawah lapisan uis tersebut, menggunakan Uis Gatif sebagai simbol pengikat nilai leluhur.
Sementara itu, pengantin perempuan (Sidiberu) tidak diperkenankan menggunakan Uis Beka Buluh—sebuah aturan adat yang menegaskan bahwa uis tersebut khusus untuk kaum lelaki. Sebagai gantinya, mereka mengenakan Uis Kelam-kelam dan dilapisi Uis Ragi Barat atau Uis Jujungen. Di bagian tudungnya, dipasang tiga Sertali Emas-emas di sisi kiri saja. Jumlah ini bukan sembarangan, melainkan mencerminkan tiga jalur pedalan kepada Kalimbubu: kepada Turang, Bebere, dan Kempu Dareh.
Pengantin perempuan juga mengenakan lima Sertali Emas-emas di leher, dengan filosofi yang sama seperti pada pengantin pria. Dua lapis uis disematkan—Uis Julu di dalam dan Uis Nipes di luar—yang melambangkan perlindungan, penghormatan, dan keanggunan seorang perempuan Karo.
Menghargai Makna, Bukan Sekadar Penampilan
Damanus menyoroti praktik yang mulai menyimpang dalam beberapa prosesi pernikahan adat Karo masa kini, di mana Sertali Emas-emas turut dikenakan oleh orang tua pengantin. Ia menegaskan bahwa tindakan itu bertentangan dengan filosofi asli dan dapat menurunkan makna sakral dari simbol tersebut.
“Betul, terlihat cantik dan megah. Tapi di mata adat, itu kosong makna. Bahkan bisa diartikan sebagai penghinaan terhadap struktur adat Karo itu sendiri,” tegasnya.
Ia mencontohkan, tindakan seperti itu ibarat “Jile-jile kobe, jujung-jujung na kotorena,” sebuah peribahasa Karo yang menggambarkan pemakaian sesuatu yang berharga secara tidak tepat, sehingga kehilangan nilainya.
Warisan Leluhur di Era Milenial
Damanus mengajak seluruh pemangku adat dan generasi muda Karo untuk menjadi pelopor pelestarian budaya yang bermartabat, sekaligus mampu menjawab tantangan zaman. Ia menutup imbauannya dengan filosofi indah: Adat Karo ibarat bunga dalam pot – sejauh mana pun menjalar, akarnya tetap dalam pot itu.
“Jangan biarkan adat kita hanya menjadi simbol kosong dalam pernikahan. Warisan leluhur adalah sumber pijakan, bukan sekadar pajangan,” pesannya penuh harap. Red/Lingga