Putraindonews.com – Sulsel | Penulis dan pegiat literasi Rusdin Tompo menyebut bahwa menulis puisi bukan sekadar terpaku pada keindahan kata-kata atau larik-lariknya. Namun, terpenting adalah makna dan pesan yang akan disampaikan.
Pencipta puisi “Panggil Aku Daeng” itu menyampaikan, memang terkadang pada masa awal, seseorang lebih menekankan pada estetika larik-larik puisinya. Itu bagian dari proses belajar, di mana si penulis mengekplorasi keindahan bahasanya.
Nanti, lanjutnya, ada semacam panggilan menulis puisi sebagai sikap kritis, kepedulian dan keberpihakan. Puisi jadi medium ekspresi untuk membela orang-orang yang terpinggirkan, mereka yang termarginalkan, dan wujud rasa kemanusiaan penulisnya.
“Menulis puisi itu bukan cuma soal rasa bahasa yang indah, tapi kedalaman maknanya,” jelas Rusdin Tompo, yang mengaku mulai menulis puisi sejak duduk di bangku Sekolah Dasar itu.
Ia lalu mengutip tulisan Sofyan RH Zaid, dalam “Kaidah Puisi & Akidah Kepenyairan (2022), yang membedakan 3 (derajat) bahasa yang dikandung puisi.
Pertama, bahasa umum, yaitu bahasa keseharian, sebagaimana bahasa yang dipakai penyair untuk menciptakan puisinya, misalnya bahasa daerah atau bahasa nasional.
Kedua, bahasa puitis, yaitu bahasa yang digunakan penyair dengan sejumlah perangkat puitiknya, seperti majas dan lainnya. Bahasa puitis ini, digunakan penyair untuk berkomunikasi secara estetis. Ketiga, bahasa penyair, yaitu bahasa khusus yang diciptakan sendiri oleh penyair untuk puisinya.
Bahasa penyair ini menjadi ciri pembeda, memiliki kekhasan cara ungkap dan daya ucap. Ia bukan saja unik tapi juga berkarakter.
Rusdin Tompo lalu mencontohkan bahasa penyair dimaksud, seperti “aku ini binatang jalang” atau “aku ingin hidup seribu tahun lagi”, yang identik dengan penyair Chairil Anwar.
Dikatakan, proses kreatif menulis puisinya tidak pernah disangka akan sejauh ini. Semula dia hanya suka saja mengekspresikan ide, gagasan, kegelisahan, dan kepeduliannya dalam bentuk puisi. Ternyata hobi menulis puisi itu berlanjut menjadi passion-nya.
Lelaki kelahiran Ambon, 55 tahun lalu itu, sudah menerbitkan beberapa buku kumpulan puisi. Yakni, “Tuhan Tak Sedang Iseng” (2014), “Mantra Cinta” (2016), “Menculik Puisi” (2017), “Bukan Dongeng untuk Anakku” (2019), dan “Kata Sebagai Senjata” (2021).
Rusdin Tompo berbagi pengalaman dengan mahasiswa semester 3 Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Jumat, 24 November 2023. Penulis yang berhimpun di Komunitas Puisi (KoPi) Makassar itu, hadir sebagai praktisi mengajar.
Dia lebih banyak berbagi pengalaman seputar proses kreatif kepada mahasiswa peserta mata kuliah Kemahiran Menulis Bahasa Bugis-Makassar. Pengampu mata kuliah ini adalah Pammuda, SS, M.Hum, dosen Departemen Sastra Daerah, yang juga merupakan Sekretaris Departemen Sastra Daerah FIB Unhas.
Koordinator Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA Provinsi Sulawesi Selatan itu lebih banyak berbagi proses kreatif yang dia lakukan. Disampaikan bahwa ide itu bisa dikondisikan dan diniatkan. Dicontohkan, dia biasa menulis puisi karena ingin menerakan kehadirannya di suatu tempat. Kalau dia berada di kampus Unhas, dia tergerak menulis puisi bukan saja tentang Unhas, tapi nanti dicantumkan bahwa puisi itu lahir atau diciptakan di Unhas.
Tips berikut yang diberikan, yakni semangat menulis puisi karena ingin mendokumentasi momen-momen tertentu, seperti saat ulang tahun, hari-hari besar nasional dan lain-lain. Menulis puisi juga, jangan pentingkan dahulu kesempurnaan atau judulnya. Biar ditulis saja, nanti baru direvisi dan dikoreksi dengan diksi yang kuat dan unik. Ada proses mengendapkan puisi yang ditulis, lalu dibaca kembali untuk perbaikannya, jika perlu.
“Harus rajin membaca, termasuk membaca puisi orang lain dan buku-buku yang bisa memperkaya wawasan,” katanya memberi saran.
Dalam pembelajaran hari itu, ada mahasiswa yang bertanya, bagaimana mengetahui sebuah puisi itu merupakan puisi yang baik? Rusdin Tompo tidak memberikan jawaban pasti indikator puisi yang bagus. Menurutnya, bisa karena permainan rima, majas yang kuat dan pas, atau gaya pengungkapan yang segar.
Ada juga yang menyampaikan kendalanya menulis puisi, padahal idenya sudah ada. Lalu dijawab, itu bisa karena kita terlalu terpaku pada apa yang mau ditulis, bukan pada apa yang mau dikatakan. Terlalu sibuk mencari kata atau larik yang bagus. Dia kemudian memberi motivasi agar berani memulai untuk menulis. Koreksinya nanti belakangan.
Mahasiswa lainnya bertanya, mengapa dia lebih suka menulis quotes, bukan puisi lengkap? Quotes ini merupakan kutipan atau ungkapan yang ditulis oleh seseorang yang terkenal atau yang punya pengaruh. Dijawab, itu karena kita fokus pada permainan kata-katanya yang indah. Meski quotes yang berupa kata-kata bijak singkat itu, kadang punya makna mendalam.
“Ini efek dari media sosial, biar lebih mudah dicantumkan dan jadi status kita di medsos,” jawab Rusdin Tompo.
Disampaikan, rajin membuat status di medsos sebenarnya bisa jadi modal untuk aktivitas menulis. Tinggal bagaimana membuat status yang lebih bercerita, yang jelas informasinya. Dia sendiri mengakui, banyak puisinya tercipta dari postingan-postingan orang di medsos.
“Medsos jadi salah satu sumber ide kreatif bagi saya,” pungkasnya. Red/Umar