Bedah Buku,  “Maharku ; Pedang dan Kain Kafan” Merupakan Dakwah Bagi Kita

***

Putraindonews.com – Makassar | Fungsi buku itu sangat beragam, salah satunya bisa dijadikan sebagai medium untuk berdakwah. Sebagaimana buku yang ditulis Rahman Rumaday, founder Komunitas Anak Pelangi (K-Apel), berjudul “Maharku ; Pedang dan Kain Kafan”.

Buku tentang kisah pernikahan Bang Maman -begitu dia akrab disapa- dengan istrinya, Heliati Eka Putri atau biasa dipanggil Esti ini, bahkan dinilai sarat dengan pembelajaran.

“Dalam buku ini tidak pernah lepas dari diksi Tuhan. Setiap pembuka bab selalu mengajak pembacanya untuk mengingat Tuhan, untuk berzikir. Buku ini adalah dakwah bagi kita semua,” begitu apresiasi yang disampaikan Muhammad Amir Jaya.

Sastrawan yang sudah menelurkan sejumlah buku itu tampil sebagai salah satu pembahas dalam acara Bazar Bedah Buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan” di Figor Cafe, Sabtu, 25 Desember 2021.

Amir Jaya disandingkan dengan Indramini, S.Pd, M.Pd, dosen Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, dan Lily Rachim, pegiat keadilan gender, sebagai pembicara. Moderator diskusi buku yang dilaksanakan oleh Himpunan Pelajar Mahasiswa Batuatas Makassar (HIPMASKAR) adalah Novian.

Amir Jaya melanjutkan bahasannya, bahwa judul buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan”, mengajarkan pada kita tentang kekuatan berpikir positif. Apa yang kita pikirkan, katanya, akan terjadi. Jika kita menginginkan hidup kita bagus maka akan terwujud.

BACA JUGA :   PRAJURIT KOREM GAYA DILATIH KETRAMPILAN NEMBAK

Menurutnya, buku ini punya suatu rahasia, yang jadi keistimewaannya. Dia menilai buku ini layaknya novel, dengan gaya bahasa populer. Tinggal karakter tokoh utamanya diolah biar lebih kuat. Ini kisah nyata, unik dan penuh misteri.

Ditambahkan bahwa seorang penulis itu punya dimensi yang tidak dimiliki orang lain, yakni kebeningan hati. Sehingga, setiap kali kita menulis, perlu dimulai dengan niat dan ikhtiar yang tulus.

Lily Rachim, melihat buku ini dari sudut pandang egalitarianisme. Contoh tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam buku ini, tampak pada tokoh Esti yang digambarkan sebagai tokoh yang mandiri, bukan saja terkait ekonomi tapi juga d pengambilan keputusan.

Sebagai pegiat isu gender, dia melihat bahwa keputusan untuk menikah itu dilakukan setara. Bila prosesnya tidak setara, justru posisi laki-laki dan perempuan sama-sama dirugikan.

Di dalam masyarakat patriarki, tidak banyak perempuan yang punya posisi sosial seperti Esti. Pernikahan itu sejatinya kasih sayang, dan esensi mahar itu, berdasarkan teori-teori, sesungguhnya adalah kasih sayang.

“Buku ini layak sebagai hadiah kepada teman-teman yang belum menikah, bahkan kepada orang yang berlainan agama agar paham tentang konsep taaruf,” terang aktivis yang bergabung di Solidaritas Perempuan Anging Mammiri (SP-AM) itu.

BACA JUGA :   Delapan Istilah Baru COVID-19 Dalam KEPMENKES No. HK.01.07/MENKES/413/2020 Pengganti PDP, ODP & OTG

Dalam buku ini juga pembaca memperoleh pemahaman terkait taaruf. Taaruf itu justru membuktikan bahwa kedua orang yang akan menikah, punya independensi bukan intervensi.

Soal mahar, dia menyebut mahar itu kontekstual. Esti meminta mahar pedang dan kain kafan, merupakan sesuatu yang out of the box, yang tidak terjebak pada materialisme.

Sementara Indramini, yang mengkaji dari sisi bahasa, melihat mahar yang tidak biasa itu membuktikan ketangguhan Maman sebagai seorang lelaki.

Menurutnya, yang menarik dalam buku ini, karena ada proposal pra pernikahan. Selain itu, buku ini juga dianggap mudah dipahami oleh siapa saja karena bahasanya sederhana.

“Pesan-pesan spiritual dan moralnya mudah dipahami oleh pembaca,” papar Indramini yang tengah menyusun disertasi tentang pernikahan adat Makassar dari segi bahasa ini.

Rahman Rumaday sempat memperlihatkan pedang yang dijadikan mahar pada peserta diskusi, yang terdiri dari mahasiswa, aktivis, akademisi, penulis, sastrawan dan kalangan media.

“Pedang itu, ungkapnya, sempat ditahan polisi di bandara saat akan dibawa ke Bogor, lokasi pernikahan Maman dan Esti”.

Selaku editor, Rusdin Tompo, mengaku aspek perspektif gender memang dijaga dalam proses pengeditan buku ini. Pegeditannya juga mempertimbangkan konteks sosial kisah ini dan suasana kebatinan penulisnya. Red/Ben

***

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI

error: Content is protected !!