PUTRAINDONEWS.COM
JAKARTA | Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menjadi pembicara dalam Virtual Platform for the 9th Indonesia EBTKE ConEx 2020†yang berlangsung pada Hari Senin, 23 November 2020. Dalam kesempatan ini Menteri menyampaikan pidato mengenai “Energy Transition Scenario and Strategy Towards the 2050 Indonesia Visionâ€.
Pada tahun 2045, Indonesia diprediksikan akan menjadi negara maju dengan PDB sekitar 24 ribu USD per kapita dan menjadi PDB terbesar ke-5 di seluruh negara di dunia. Untuk mencapai visi jangka panjang tersebut, pemerintah telah mencanangkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024 sebagai langkah awal transformasi ekonomi menuju negara maju.
Menurut Menteri, ada sedikit keistimaweaan dalam RPJMN 2020-2024 ini, karena Kementerian PPN/Bappenas telah memasukkan agenda ‘hijau’ sebagai agenda prioritas nasional.
“RPJMN 2020-2024 secara historis sangat monumental, karena merupakan RPJMN ‘hijau’ pertama untuk Indonesia yang memasukkan Pembangunan Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim sebagai salah satu agenda prioritas nasional kami. Low Carbon Development Initiative (LCDI) juga berperan sebagai dasar untuk mengubah ekonomi kita menuju ekonomi rendah karbon,†ujar Menteri
Melalui strategi pembangunan rendah karbon, Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK sebesar 27,3% dari skenario baseline pada tahun 2024, dan kontribusi sektor energi sendiri diharapkan mencapai sekitar 13,2%. Komitmen ini dapat dicapai dengan memaksimalkan upaya beralih ke energi terbarukan dan melaksanakan program efisiensi energi. Dengan kata lain, dibutuhkan banyak investasi hijau untuk memenuhi target tersebut.
Namun, Pandemi Covid-19 ini juga mempengaruhi rencana jangka pendek yang telah disusun harus menyeseuaikan dnegan kebutuhan untuk menanggapi pandemi ini. Skenario perencanaan jangka panjang yang optimis dan ambisius masih ada. Kesehatan masyarakat adalah kunci pemulihan ekonomi. Semakin cepat pandemi berakhir, semakin cepat perekonomian pulih.
“Kami menyadari bahwa masa pemulihan ekonomi pasca pandemik akan menjadi tantangan, terutama dalam menjaga upaya pemulihan ekonomi pada jalur pembangunan yang berkelanjutan,†ungkap Menteri.
Di masa lalu, rebound ekonomi setelah krisis ekonomi 2008-2009 menyebabkan peningkatan emisi gas rumah kaca global, karena upaya stimulus dan investasi tidak memanfaatkan peluang yang memadai untuk pendekatan berkelanjutan, hijau, dan rendah karbon. Dampak krisis keuangan global (GFC) 2008-2009 pada emisi berumur pendek namun berdampak karena pertumbuhan emisi yang kuat di negara berkembang, kembalinya pertumbuhan emisi di negara maju, dan peningkatan intensitas bahan bakar fosil di ekonomi dunia.
“Pengalaman ini telah mengajari kami untuk merumuskan kebijakan yang lebih canggih dan tepat karena kami sangat berkomitmen untuk pembangunan berkelanjutan. Kelestarian lingkungan merupakan salah satu prioritas nasional Indonesia yang perlu diperhatikan terkait dengan semua target sektoral,†kata Menteri.
Untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang berkualitas hanya dapat diperoleh jika pada saat yang sama, seluruh pihak dapat menjaga lingkungan. Dalam konteks ini pemerintah sepakat menempatkan penurunan emisi gas rumah kaca sebagai salah satu indikator yang setara dengan indikator pertumbuhan ekonomi seperti pengentasan kemiskinan dan pengurangan tingkat pengangguran.
“Salah satu kebijakan kunci untuk melaksanakan Pembangunan Rendah Karbon adalah mendorong transisi energi menuju energi yang lebih bersih dan lebih hijau melalui pengembangan energi terbarukan dan efisiensi energi,†Kata Menteri.
Dalam RPJMN 2020-2024, pemenuhan kebutuhan energi dengan mengutamakan energi terbarukan merupakan salah satu program prioritas. Target 23% energi terbarukan dalam bauran energi nasional pada tahun 2024 sejalan dengan target 23% pangsa energi terbarukan (ET) dalam Rencana Energi Nasional (atau RUEN) tahun 2025. Target ini menjadi dasar fundamental untuk mencapai 31% pangsa ET pada tahun 2050.
“Kami memiliki proyek besar untuk mendukung aksi transisi energi, yaitu Pembangunan Bahan Bakar Hijau Berbasis Minyak Sawit. Selain ditujukan untuk meningkatkan pangsa energi terbarukan, namun juga akan mengurangi ketergantungan pada minyak impor, membantu menyerap produksi CPO dalam negeri, dan meringankan beban anggaran fiskal negara,†tambah Menteri. Red/Ben