Temuan penting survei menyebut rata-rata jam kerja pekerja media dan kreatif mencapai 44,1 jam per minggu, melebihi ketentuan 40 jam per minggu dalam undang-undang. Sebagian besar pekerja bahkan tidak mendapatkan upah ataupun cuti pengganti ketika bekerja melebihi batas waktu normal.
SINDIKASI menilai kondisi ini diperparah kemunculan UU Cipta Kerja yang menguatkan rezim kerja kontrak. “Kehadiran UU Cipta Kerja memungkinkan pekerja bekerja dengan sistem kontrak seumur hidup, jam kerja panjang, dan tanpa upah layak. UU Cipta Kerja memungkinkan informalisasi pekerjaan sehingga pemberi kerja semakin mudah melakukan PHK, terutama selama pandemi,” ujar Nur Aini Ketua Umum SINDIKASI.
Di samping UU Cipta Kerja, kekerasan dan pelecehan seksual juga masih kerap ditemukan di dunia kerja. Survei SINDIKASI pada 2021 kekerasan dan pelecehan seksual masih terjadi di dunia kerja dengan korban pekerja perempuan maupun laki-laki. Meski mengalami kasus kekerasan dan pelecehan seksual, korban tak berani melapor. Survei itu menemukan hanya 1 persen kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang dilaporkan.
Kondisi itu diperparah dengan tidak terpenuhinya hak maternal perempuan di lingkungan kerja dengan tidak tersedianya hak cuti hamil/melahirkan hingga ketersediaan ruang laktasi layak di tempat kerja.
“Padahal, berbagai catatan menerangkan lingkungan yang bebas pelecehan seksual dan memenuhi hak maternal mampu memicu produktivitas perempuan di tempat kerja. Komitmen politik pemerintah sangat dibutuhkan untuk mewujudkan situasi tersebut,” tutur Nura–sapaan akrab Nur Aini–kembali.
Sebagai serikat pekerja yang didominasi anggota pekerja muda dalam rentang usia 20-35 tahun, SINDIKASI juga memperhatikan kehadiran praktik pemagangan yang cenderung eksploitatif melalui Program Magang Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Hasil survei Project Multatuli menyebut 63 dari 153 responden peserta MBKM tidak mendapatkan upah.
Penyedia kesempatan magang juga kerap memberikan beban kerja yang sangat berat kepada peserta. Di samping itu, ditemukan juga pembayaran upah yang telat hingga kasus pelecehan seksual. Program magang sejatinya telah diatur dalam UU N0.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Sementara pelaksanaannya, termasuk yang terkait dengan hak pemagang, mengacu pada Permenaker Nomor 6 Tahun 2020. Nahasnya, secara konsep peraturan ini tidak bisa melindungi pekerja magang MBDK, lantaran status kepesertaan magang mereka sebagai mahasiswa, bukan pencari kerja.
“Ketiadaan koordinasi antara Kemendikbud dengan Kemnaker perihal program magang menyengsarakan banyak orang, termasuk anak-anak muda dalam program magang. Kedua lembaga ini sepatutnya duduk bersama dan menghasilkan solusi atas persoalan ini,” ujar Ketua SINDIKASI wilayah Jabodetabek Amru Sebayang.
SINDIKASI juga menyoroti praktik diskriminatif perlindungan pekerja dalam BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Pekerja lepas, khususnya, perlu membiayai ongkos jaminan sosial mereka sendiri tanpa adanya bantuan dari pemberi kerja. Situasi ini jauh berbeda dengan pekerja formal dengan paket jaminan sosial lengkap yang terpotong dari pendapatan bulanan melalui mekanisme yang tertera dalam undang-undang.
Pekerja lepas sendiri bekerja dengan penuh kerentanan. Temuan riset SINDIKASI pada 2020 menyebut pekerja lepas menghadapi setidaknya 5 bentuk kerentanan, (1) mulai dari umumnya kontrak kerja yang bersifat lisan dan tidak memiliki kekuatan hukum, (2) ketiadaan jaminan sosial dan ketenagakerjaan, (3) jam dan beban kerja yang panjang dan berlebih, (4) upah murah dan ongkos tersembunyi dari penurunan nilai guna alat produksi (Contoh: kamera, laptop, dll.), (5) hingga ketiadaan kepastian karir.
“Ketiadaan produk hukum semakin merentankan kondisi hidup pekerja lepas. Padahal pada 2020, BPS mencatat setidaknya ada 33,34 juta pekerja lepas di Indonesia. Angka ini bahkan melonjak 26% dari tahun 2019. Dengan jumlah yang begitu besar, sudah sepatutnya pemerintah memfasilitasi produk hukum yang mendukung keberadaan mereka,” ungkap Amru.
Kondisi kerentanan pekerja juga diperparah dengan kenaikan kebutuhan-kebutuhan pokok. Dalam beberapa bulan terakhir pemerintah telah menghapus ketentuan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng, menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax, serta meningkatkan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk kebutuhan pokok. Masyarakat juga masih harus menunggu kepastian naik tidaknya harga BBM jenis Pertalite, tarif dasar listrik, hingga harga jual gas elpiji, situasi ekonomi nasional yang bila tidak dikendalikan akan ikut menyengsarakan pekerja.
Hingga hari ini SINDIKASI konsisten menjalankan fungsi serikat yang memberikan pendampingan, advokasi, dan pendidikan bagi pekerja. Sejak berdiri pada 2017, SINDIKASI di antaranya telah melakukan (1) advokasi pengakuan kesehatan mental dalam K3, (2) advokasi pengurangan jam kerja pekerja film melalui kertas posisi, (3) advokasi pekerja lepas mendaftarkan diri untuk BPJS Ketenagakerjaan, hingga (4) kampanye dan dorongan publik untuk ratifikasi Konvensi ILO 190 sebagai payung hukum penghapusan kekerasan seksual di tempat kerja.
Kerja organisasi juga terlaksana melalui perluasan struktur organisasi hingga basis kewilayahan dan pendampingan hukum kasus ketenagakerjaan. Dalam rangkaian aksi May Day 2022, SINDIKASI menyatakan sikap untuk mendukung perbaikan kondisi pekerja dan menyampaikan beberapa tuntutan sebagai berikut:
- Cabut Undang-Undang Cipta Kerja sepenuhnya
- Ratifikasi Konvensi ILO 190 tentang penghapusan kekerasan seksual di tempat kerja
- Tolak pelemahan serikat dalam revisi UU Serikat Pekerja
- Regulasi tentang jaminan sosial pekerja yang inklusif dan universal serta melindungi pekerja rentan
- Implementasi dan pengawasan serius dan tegas aturan K3 untuk kesehatan mental pekerja
- Perlindungan bagi pekerja dalam status pemagangan
- Turunkan harga-harga kebutuhan pokok
Pada momentum aksi ini, SINDIKASI juga menyerukan kampanye #SayaPekerjaSayaRentan untuk mengingatkan kembali pentingnya pekerja untuk mengorganisir diri dalam serikat pekerja karena semakin rentannya kondisi ketenagakerjaan, sehingga bisa secara kolektif mendesak terwujudnya ekosistem kerja yang manusiawi, inklusif, dan berkeadilan. Red/Ben
***