PUTRAINDONEWS.COM
MAUMERE – NTT | Pimpinan Seminari Menengah St. Maria Bunda Segala Bangsa di Maumere, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merilis pernyataan resmi menanggapi berita terkait kasus kekerasan terhadap puluhan siswa, di mana para siswa itu diberitakan dipaksa makan kotoran manusia (feses).
Dalam salinan rilis yang diterima media ini, pada Selasa malam, 25 Februari 2020, RD Deodatus Du’u, pimpinan seminari mengakui adanya peristiwa itu, namun memberi catatan terhadap beberapa informasi yang ia sebut kurang tepat yang disampaikan dalam berbagai pemberitaan di media.
Romo Deodatus menyampaikan permohonan maaf atas apa yang terjadi, sambil memastikan bahwa pihak Seminari mengambil tindakan tegas terkait peristiwa itu.
Sebelumnya, Diberitakan oleh sejumlah media bahwa 77 orang siswa Kelas VII (SMP) di seminari milik Keuskupan Maumere itu dipaksa kakak kelasnya makan kotoran manusia, kasus yang kemudian memantik protes dari orang tua siswa dan kecaman dari publik.
Kronologi
Dalam klarifikasinya, RD Deodatus mengisahkan kronologi peristiwa itu, yang ia sebut terjadi pada Rabu, 19 Februari 2020, antara pukul 14.30—15.00 WITA.
“Semuanya bermula ketika salah seorang siswa Kelas VII yang membuang kotorannya sendiri (feses) pada sebuah kantong plastik yang selanjutnya disembunyikan di sebuah lemari kosong di kamar tidur unit bina SMP Kelas VII,†tulisnya.
Setelah makan siang, sekitar pukul 14.00 WITA, kata dia, seperti biasa dua orang kakak Kelas XII (siswa SMA) yang ditugaskan menjaga kebersihan unit kelas VII menemukan kotoran tersebut. “Mereka kemudian mengumpulkan para siswa Kelas VII di asrama untuk dimintai informasi tentang kotoran tersebut. Namun para siswa Kelas VII tidak ada yang mengakuinya. Berkali-kali kakak kelas meminta kejujuran dari adik-adinya, tetapi mereka tetap tidak mengakuinya,†katanya.
Akhirnya, jelas dia, karena marah, salah seorang kakak kelas tersebut mengambil kotoran dengan senduk makan, lalu menyentuhkan kotoran tersebut pada bibir atau lidah siswa Kelas VII. “Perlakuannya berbeda pada masing-masing anak,†tulis RD Deodatus, tanpa merinci maksud perlakukan berbeda itu.
Ia menambahkan, pelaku kemudian meminta agar hal tersebut tidak diberitahukan kepada para pembina, yaitu romo dan frater serta orang tua siswa.
Peristiwa itu, kata dia, baru diketahui pada Jumat, 21 Februari, setelah salah satu siswa Kelas VII datang bersama orang tuanya untuk melapor kepada pembina.
Menyikapi laporan itu, para pembina memanggil siswa Kelas VII dan kedua pelaku untuk dimintai keterangan.
Pertemuan dengan Orang Tua
Selanjutnya, ujar Romo Deodatus, pada hari ini, Selasa, 25 Februari, pukul 09.00—11.15 WITA, Seminari mengadakan pertemuan yang menghadirkan seluruh siswa Kelas VII, orang tua mereka dan pelaku. “Dalam pertemuan tersebut, persoalan ini dibicarakan secara serius, penuh keterbukaan dan kejujuran. Seminari secara terbuka telah meminta maaf atas peristiwa ini di hadapan orang tua,†urai Romo Deodatus.
Ia menambahkan, para orang tua juga menyayangkan peristiwa tersebut, sambil berharap agar kejadian serupa tidak terulang kembali.
Ia menjelaskan, pihak Seminari memberi sanksi tegas kepada kedua pelaku dengan mengeluarkan mereka dari Seminari. “Sementara itu, para siswa Kelas VII dibuat pendampingan dan pendekatan lebih lanjut oleh para pembina untuk pemulihan mental dan menghindari trauma,†katanya.
Terminologi ‘Makan Kotoran’ Kurang Tepat
RD Deodatus menyatakan, terminologi ‘makan’ kotoran yang diberitakan media terkait peristiwa ini ‘agaknya kurang tepat.’ “Sebab, yang terjadi sebenarnya adalah salah seorang kakak kelas ‘menyentuhkan’ senduk yang ada feses pada bibir atau lidah siswa Kelas VII,†jelasnya.
Ia menyatakan bahwa lokasi kejadian adalah di kamar tidur unit bina SMP Kelas VII, dan bukan di ruang kelas sebagaimana yang diberitakan beberapa media. Ia juga meluruskan bahwa pelaku kekerasan ini bukan pembina, tetapi kakak kelas para korban.
Meminta Maaf
RD Deodatus menyatakan, seminari memiliki sikap tegas untuk tidak membiarkan kasus kekerasan seperti ini terjadi. “Dengan rendah hati, kami pihak Seminari St Maria Bunda Segala Bangsa Maumere menyampaikan permohonan maaf sedalam-dalamnya kepada semua pihak, teristimewa kepada orang tua dan keluarga para siswa Kelas VII,†ujarnya.
“Bagi kami, peristiwa ini menjadi sebuah pembelajaran untuk melakukan pembinaan secara lebih baik di waktu-waktu yang akan datang,†tambahnya.
Ia juga menyampaikan terima kasih atas segala kritik, saran, nasihat dan teguran kepada mereka, yang ia sebut ‘menjadi sesuatu yang sangat berarti dengan harapan agar lembaga ini terus didoakan dan didukung supaya menjadi lebih baik.’(*)
Sumber berita (*/Rilis Seminari BSB Maumere)
Editor (+rony banase – NTT)