Putraindonews.com | Merupakan sebuah hal yang penting untuk melindungi hak politik seluruh warga negara termasuk hak pilih yang dimiliki karena memiliki efek politik (political efficacy) termasuk menjaga hak pilih kelompok penyandang disabilitas.
Menurut Oemar Seno Adji, Hak Asasi manusia (HAM) adalah hak dan martabat yang dimiliki oleh semua orang yang lahir karena pemberian langsung dari Tuhan Yang maha Esa. Di mana, hak-hak inilah yang tidak dapat ditolak ataupun dihilangkan oleh siapapun. Menurutnya, HAM adalah batasan suci yang tidak bisa dilanggar oleh siapapun.
HAM sebagai sebuah hak dasar yang dimiliki dan melekat pada setiap individu, melahirkan hak-hak lainnya merunut pada perkembangan peradaban manusia. Hak-hak yang kemudian terangkum dalam HAM di antaranya adalah hak asasi politik atau dikenal dengan political right yang memberikan ruang seluas-luasnya bagi setiap warga negara untuk ikut serta dalam pemerintahan, menggunakan hak pilih dan dipilihnya dalam Pemilu, serta hak untuk bergabung serta mendirikan partai politik tertentu.
Berpijak pada konsepsi persamaan hak antarsesama manusia inilah, maka tidak terdapat perbedaan terhadap penyandang disabilitas. Sayang, dalam praktiknya penyandang disabilitas seringkali menjadi kelompok yang termarjinalkan–mendapatkan perlakuan yang tidak semestinya dan terhalangi dalam upaya pemenuhan hak-haknya.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh Indonesia untuk melakukan pemenuhan hak atas penyandang disabilitas adalah dengan melahirkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Penyandang disabilitas sebagaimana nondisabilitas memiliki hak dan kewajiban yang sama, termasuk hak dan kewajiban konstitusional, yang meliputi hak ekonomi, sosial, dan budaya. Karenanya, negara dalam hal ini mempunyai kewajiban (state obligation) untuk memenuhi (fulfill), menghormati (to respect), dan melindungi (to protect) setiap hak yang dimiliki oleh setiap warga negaranya.
Hak pilih merupakan salah satu bentuk dari partisipasi politik di negara demokratis sebagaimana dijelaskan oleh Miriam Budiarjo dalam bukunya, Dasar-Dasar Ilmu Politik, menulis bahwa konsep partisipasi politik bertolak dari paham kedaulatan berada di tangan rakyat, yang dilaksanakan melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk kepemimpinannya.
Sehingga bagi warga negara, Pemilu menjadi penyalur kehendak mereka dalam menentukan pemimpin yang akan memperjuangkan aspirasi mereka. Termasuk dalam pemenuhan dan memperjuangkan hak-hak kelompok penyandang disabilitas.
Adapun kelompok jenis disabilitas sendiri meliputi, tuna daksa; tuna Netra; tuna rungu/wicara; tuna grahita, dan disabilitas lainnya.
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menjadi kewajiban bagi penyelenggara pemilu untuk menerapkan seluruh prinsip pelaksanaan pemilu, yang salah satunya adalah prinsip professional.
Dalam kajian filsafat pemilu terdapat sembilan nilai fundamental dalam prinsip professional yaitu: berkepastian hukum, aksesibilitas, tertib, terbuka, proporsional, efektif, efisien dan kepentingan umum.
Menurut Teguh Prasetyo prinsip aksesibilitas sendiri dapat dimaknai sebagai sebuah kemudahan yang disediakan oleh penyelenggara pemilu kepada pemilih penyandang disabilitas guna mewujudkan kesamaan kesempatan.
Juga, M Afifudin dalam makalahnya mendefenisikan aksesibilitas sebagai suatu kondisi di mana setiap warga negara bisa menggunakan hak pilihnya (memilih, dipilih, dan diangkat sebagai penyelenggara pemilu) secara langsung, umum, bebas, rahasia serta mandiri tanpa hambatan apapun.
Berikutnya, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum prinsip aksesibilitas diwujudkan dalam bentuk pembangunan TPS yang ramah dan mudah dijangkau oleh pemilih penyandang disabilitas, dan juga tindakan afirmatif berupa kemudahan bagi pemilih penyandang disabilitas untuk dibantu oleh orang lain yang telah ditunjuk oleh dan atas permintaan pemilih yang bersangkutan pada saat pemungutan suara di TPS.
Walaupun telah terdapat regulasi dan mekanisme untuk melindungi hak pilih kelompok penyandang disabilitas, dalam Pemilu masih terdapat permasalahan yang berhubungan dengan hak pilih kelompok penyandang disabilitas antara lain: keterbatasan dalam mengakses informasi pemilu; keterbatasan pengetahuan dalam mengakses nama-nama calon anggota legislatif; tak tersedianya sejumlah instrument teknis pemilu yang dapat menjangkau pemilih disabilitas; dan struktur sosial dan budaya masyarakat yang masih menganggap rendah martabat kelompok pemilih disabilitas.
Dengan jumlah penyandang di sabilitas yang cukup tinggi di Sumba Barat saat ini, maka Bawaslu Kabupaten Sumba Barat memandang perlu untuk memastikan hak pilih penyandang disabilitas, untuk itu diperlukan tatakelola (electoral governance) yang baik sehingga tidak ada lagi hak-hak penyandang disabilitas yang terabaikan dalam pemilihan.
Menyikapi hal itu maka Bawaslu kabupaten Sumba Barat melakukan persiapan penyelenggaraan pemilu dalam merealisasikan pemilu yang ramah bagi penyandang disabilitas yang dapat dilakukan melalui beberapa upaya antara lain: (1) Sosialisasi pemilu kepada pemilih penyandang disabilitas, (2) Pendataan dan Pendaftaran pemilih penyandang disabilitas, lewat patroli pengawasan kawal hak pilih (3)berkoordinasi dengan pihak terkait untuk memastikan logistik sesuai kebutuhan disabilitas, dan (4) bersama memastikan petugas penyelenggara pemilu dalam memetakan lokasi TPS yang aksesibilitas.
Dengan ini diharapkan tidak ada pemilih baik nondisabilitas maupun penyandang disabilitas yang terabaikan hak pilihnya.
* Yusti Rambu Karadji, S.Th (Ketua Bawaslu Sumba Barat)