Ruang kelas hari ini tidak lagi sekadar tempat berjejer bangku dan guru berdiri di depan papan tulis. Dunia telah berubah, dan begitu pula wajah pendidikan. Di tengah desakan revolusi industri 4.0 dan kecakapan digital sebagai mata uang baru peradaban, transformasi digital dalam pendidikan bukanlah pilihan, melainkan keharusan. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) menanggapi tantangan ini dengan langkah nyata melalui program prioritas 2025: pengenalan coding dan kecerdasan buatan (AI) bagi siswa sekolah dasar hingga menengah, serta penerapan Tes Kemampuan Akademik (TKA) sebagai sistem evaluasi yang lebih adaptif dan relevan.
Langkah ini bukan sekadar reformasi kurikulum, tetapi juga manifestasi dari visi pendidikan yang berkeadilan dan berorientasi masa depan. Pendidikan tidak boleh tertinggal di tengah dunia yang semakin terotomatisasi. Ia harus menjadi mesin penggerak perubahan, bukan sekadar objek perubahan.
Pengenalan coding dan AI kepada peserta didik sejak dini memiliki dasar filosofis yang kuat. Pendidikan adalah proses membentuk manusia yang utuh: berpikir kritis, kreatif, dan mampu hidup berdampingan dengan teknologi. Negara-negara maju seperti Korea Selatan, Jepang, dan Estonia telah menjadikan coding sebagai bagian dari kurikulum dasar karena terbukti mampu mengembangkan kemampuan berpikir logis, keterampilan pemecahan masalah, dan daya cipta.
Lee & Yoon (2021) menyebutkan bahwa pengenalan coding pada siswa usia dini dapat meningkatkan keterampilan kognitif secara signifikan, terutama dalam aspek berpikir sistematis dan menyusun strategi pemecahan masalah. Sementara itu, AI memperluas cakrawala peserta didik dalam memahami data, membuat prediksi, dan mengambil keputusan berbasis teknologi.
Secara yuridis, langkah Kemendikdasmen ini memiliki dasar kuat dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang mengamanatkan pengembangan potensi peserta didik agar menjadi manusia cerdas, kompeten, dan adaptif. Secara sosiologis, transformasi ini menjawab kebutuhan masyarakat digital yang menuntut keterampilan teknologi sebagai alat utama produktivitas.
Digitalisasi Bukan Sekadar Alat, Tapi Budaya Belajar Baru
Transformasi digital ruang kelas bukan hanya soal mengganti kapur dengan proyektor. Ini tentang perubahan cara berpikir. Dengan memperkenalkan coding dan AI, siswa dilatih untuk tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga penciptanya.
Hal ini ditegaskan dalam kegiatan Diskusi Kelompok Terpumpun yang digelar oleh Ditjen PAUD Dikdasmen bersama Direktorat SMP dan SMA pada 29 November hingga 7 Desember 2024. Menteri Abdul Mu’ti menegaskan bahwa kurikulum baru ini akan memperkenalkan coding dan AI sebagai mata pelajaran pilihan bagi SD, SMP, dan SMA mulai tahun ajaran 2025–2026. “Kami tidak ingin anak-anak Indonesia hanya menjadi konsumen teknologi. Mereka harus menjadi pencipta dan inovator di bidang teknologi digital,” ujar Mu’ti.
Tiga pendekatan pembelajaran dirancang: internet-based, plugged, dan unplugged. Model-model ini memungkinkan fleksibilitas sesuai infrastruktur sekolah, sekaligus menjamin bahwa tidak ada siswa yang tertinggal karena keterbatasan akses. Inklusivitas tetap menjadi prinsip utama.
TKA: Evaluasi yang Membimbing, Bukan Menghakimi
Perubahan kurikulum harus diimbangi dengan perubahan sistem evaluasi. Oleh karena itu, Kemendikdasmen juga mengembangkan Tes Kemampuan Akademik (TKA) sebagai model evaluasi baru yang mengedepankan pemahaman, bukan hafalan.
Berbeda dari ujian konvensional, TKA bersifat diagnostik dan formatif. Guru tidak hanya menilai hasil akhir, tetapi juga memahami proses belajar siswa. Gomez et al. (2022) dalam Educational Review menemukan bahwa sistem evaluasi adaptif seperti TKA mampu meningkatkan kualitas pembelajaran karena memberi gambaran akurat tentang kebutuhan belajar siswa. Studi tersebut menyatakan bahwa pendekatan formatif dalam evaluasi meningkatkan hasil belajar siswa sebesar 18% secara rata-rata pada uji coba yang dilakukan di beberapa sekolah dasar di Asia Tenggara.
Dukungan atas pentingnya evaluasi diagnostik juga datang dari penelitian Zhang & Liu (2021), yang menyebutkan bahwa pendekatan ini membantu guru dalam menyusun strategi pengajaran berbasis kebutuhan individual siswa dan memperkuat hubungan guru-murid. Mereka menemukan bahwa 73% guru yang menerapkan evaluasi diagnostik cenderung lebih mampu menyusun program pengajaran yang adaptif dan responsif dibandingkan dengan guru yang hanya mengandalkan ujian akhir.
TKA juga mendorong budaya reflektif di kalangan guru. Evaluasi bukan lagi soal angka, tetapi proses untuk menyesuaikan strategi pengajaran yang lebih personal dan efektif. Ini selaras dengan semangat program dari kemendikdasmen yang menempatkan siswa sebagai subjek aktif dalam proses pendidikan terlebih penggunaannya untuk coding maupun AI.
Di Indonesia, Kemendikbudristek melalui Balitbang dan Perbukuan telah melakukan simulasi TKA di 230 sekolah sejak 2022. Hasilnya, lebih dari 67% guru yang mengikuti program ini menyatakan bahwa TKA membantu mereka memahami kelemahan konsep dasar yang belum dikuasai siswa secara lebih akurat dibandingkan ujian konvensional (Kemendikbudristek, 2023).
Selain itu, laporan dari Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) menunjukkan bahwa model penilaian formatif meningkatkan efektivitas pembelajaran sebesar 24% di sekolah-sekolah percontohan yang menerapkan model serupa dengan TKA pada tahun 2021 (Puspendik, 2021).
Dengan sistem evaluasi ini, pendidikan menjadi lebih bermakna. Siswa tidak lagi dibebani oleh tekanan skor semata, melainkan diajak memahami proses belajarnya sendiri. Guru pun bertransformasi dari sekadar penguji menjadi fasilitator pembelajaran.
Kualitas Pendidikan untuk Semua: Kerja Kolektif Lintas Sektor
Tidak ada reformasi pendidikan yang berhasil tanpa kolaborasi. Kemendikdasmen menyadari bahwa mewujudkan pendidikan bermutu adalah kerja bersama. Pemerintah pusat merancang kebijakan, pemerintah daerah memastikan implementasi, sementara guru, kepala sekolah, dan komunitas pendidikan menjadi pelaku utama di lapangan.
Wamendikdasmen Fajar Riza Ul Haq menekankan pentingnya sinergi ini. Dalam sambutannya di Kupang, ia menyatakan bahwa digitalisasi pendidikan tidak hanya mengangkat kualitas siswa, tapi juga membantu guru lebih kreatif. “Kurikulum digital mendorong kolaborasi, bukan kompetisi. Ini kesempatan bagi guru untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan dan bermakna,” katanya.
Praptono, Sekretaris Ditjen PAUD Dikdasmen, menambahkan bahwa coding dan AI bukan sekadar alat teknologi, tapi juga keterampilan hidup. Ia percaya bahwa keterampilan digital akan membekali siswa untuk menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim, disrupsi ekonomi, dan krisis kesehatan.
Data dari BPS (2024) menunjukkan bahwa hingga akhir tahun 2024, hanya 38,5% sekolah dasar di Indonesia yang memiliki akses internet yang stabil. Hal ini menjadi tantangan besar yang memerlukan kerja kolaboratif lintas sektor untuk menjamin pemerataan akses dan kualitas.
Selain itu, laporan World Bank Education Flagship di tahun 2022, menyebutkan bahwa negara-negara dengan tingkat kolaborasi tinggi antara pusat dan daerah dalam kebijakan pendidikan memiliki peningkatan capaian literasi hingga 1,5 kali lebih cepat dibanding negara dengan pendekatan top-down yang sentralistik (World Bank, 2022).
Sebuah studi oleh Rachmawati & Setiawan (2021) menunjukkan bahwa pelatihan guru berbasis komunitas secara kolaboratif antara pemerintah daerah dan pusat meningkatkan efektivitas pengajaran digital hingga 42%. Studi tersebut menegaskan bahwa kebijakan yang melibatkan guru dalam perencanaan dan pelatihan lebih berhasil dalam mentransformasikan proses belajar mengajar berbasis teknologi.
Meski berbagai tantangan hadir, mulai dari kesiapan infrastruktur hingga kapasitas guru, Kemendikdasmen tidak melangkah sendiri. Kebijakan ini lahir dari diskusi intensif dengan berbagai pihak. Strategi pembelajaran disusun tidak hanya dari atas ke bawah, tapi juga dari akar rumput: masukan dari guru, kepala sekolah, dan komunitas lokal.
Aydin & Ercan (2020) menekankan bahwa keberhasilan digitalisasi pendidikan sangat ditentukan oleh kesiapan guru dan partisipasi aktif komunitas pendidikan. Oleh karena itu, pelatihan intensif, pengembangan modul pembelajaran, dan penyediaan sarana pendukung menjadi bagian integral dari kebijakan ini.
Penutup: Dari Kapur ke Kode, Dari Hafalan ke Inovasi
Transformasi digital ruang kelas adalah misi peradaban. Di balik setiap baris kode yang ditulis siswa, tersimpan potensi besar untuk mengubah dunia. Pendidikan hari ini harus menyiapkan mereka untuk dunia yang belum ada hari ini, tetapi akan datang esok.
Kemendikdasmen telah membuka jalan dengan keberanian dan visi jauh ke depan. Dari papan tulis ke algoritma, ruang kelas Indonesia sedang bergerak menuju masa depan. Yang kita perlukan sekarang adalah komitmen bersama: agar semua anak Indonesia, dari kota hingga pelosok, mendapat hak yang sama untuk belajar, tumbuh, dan mencipta.
Karena pendidikan bukan hanya tentang hari ini, tetapi tentang masa depan yang ingin kita bangun bersama.
Oleh: Thoriq Anshorullah
Penulis Aadalah Pengamat Ekonomi dan Pendidikan Mahasiswa Jabodetabek Raya