Hapus Kredit Macet Umkm, Antara Moral Hazard dan Urgensi

Oleh: R.M. Tedy Aliudin, S.Si, MM

Putraindonews.com – Hapus buku dan hapus tagih, bukanlah hal baru bagi perbankan, di mana secara berkala, bank melakukan hapus buku kredit bermasalah, sesuai aturan OJK dan Internal Bank tersebut.

Masalahnya Hapus Buku dan Hapus Tagih yang didengungkan, berkembang menjadi semacam pemutihan kredit, khususnya pada pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), dengan nilai kredit dibawah Rp 500 juta.

Bahkan Menteri Koperasi dan UKM RI bapak Teten Masduki merinci total ada sebanyak 170.572 debitur dengan akumulasi outstanding kredit Rp10,96 triliun yang akan diusulkan hapus buku dan hapus tagih, sebagai dampak gempa dan Pandemi Covid 19, di mana juga memiliki kriteria non-KUR dan non-subrogasi, berarti tidak memiliki kaitannya dengan pihak penjamin lainya.

Kalau sebatas Hapus Buku dan Hapus tagih sudah ada peraturannya, namun hal ini tidak menghilangkan kewajiban debitur pada Bank, sehingga akan tetap masuk dalam laporan kredit bermasalah di di SLIK OJK.

Belum lagi hal ini menyangkut asset negara, yang tentubanyak aturan yang harus menjadi pertimbangan, jangan sampai suatu ketika, inisiasi baik ini menjadi permasalahan hukum dibelakang hari.

Wacana penghapusan kredit macet UMKM telah ada sejak Agustus 2023, namun sampai saat ini belum juga ada peraturan dan Keputusan yang mengakomodasinya. Beberapa pihak mengingatkan akan MORAL HAZARD dari pemutihan kredit Macet UMKM ini.

Menurut hemat saya, ada beberapa hal yang menjadi perhatian dan pertimbangan di dalam pembahasan hapus kredit macet UMKM dalam arti kata pemutihan, yaitu:

1. Tujuan Penghapusan kredit Macet UMKM
Kalau tujuannya agar pelaku UMKM yang diputihkan tersebut dapat kembali meminjam kredit Bank, karena usahanya masih memiliki prospek, agar semakin banyak UMKM yang mendapat kredit dan ratio kredit UMKM meningkat, adalah hal KELIRU.

BACA JUGA :   Hasto Absurd Menyalahkan Jokowi Gegara PPP Gagal Ke Senayan

Ini bukanlah masuk dari katagori urgensi, karena dari jumlah UMKM yang diusulkan, lebih banyak dari UMKM yang belum sama sekali tersentuh kredit Bank. Ada 70% atau lebih dari 42 juta pelaku UMKM belum terlayani Bank dan 40% atau lebih dari 24 juta UMKM membutuhkan kredit bank. Belum lagi hal ini menyangkut moral hazard yang didengungkan berbagai pihak.

Kalau tujuannya karena selama ini Kredit yang sudah di Hapus Tagih, rata – rata hanya tersisa kewajiban non hutang pokok, dikarenakan eksekusi agunan dan berbagai upaya sudah dilakukan, maka usulan pemutihan kredit UMKM seharusnya bukanlah hal yang sulit.

2. Dilihat dari Aspek Kredit saat Hapus Tagih
Kredit KUR dan Subrogasi. Kredit Usaha Rakyat (KUR) hampir dipastikan semua dengan penjaminan pihak asuransi yang notabene asuransi milik negara, dimana meskipun kredit dilunasi dibank dengan berbagai upaya, namun kemungkinan masih ada hak pihak penjamin dalam bentuk piutang subrogasi, yang tidak menghilangkan kewajiban debitur.

Apabila Hapus Tagih dilakukan dengan masih ada kewajiban hutang pokok yang menjadi bagian piutang subrogasi, maka sulit dilakukan pemutihan kredit macet UMKM tersebut.

Apabila sisa kredit macet dalam bentuk non hutang pokok, kemungkinan bisa dilakukan pembahasan pada pihak penjamin untuk dilakukan pemutihan kreditnya. Hal ini berlaku juga bagi UMKM yang terkena bencana alam maupun dampak Pandemi Covid 19.

Kredit Non KUR – Non Subrogasi dibawah Rp 500 juta. Akan lebih sederhana dilakukan pemutihan sepanjang Hapus Tagih yang dilakukan berupa non hutang pokok.

Sebagai dampak bencana baik bencana alam maupun pandemi covid-19 dapat dilakukan 2 (dua) pendekatan :

Apabila masih ada Hutang Pokok, usulan pemutihan akan lebih bijak, karena membantu UMKM yang terkena Bencana Alam dan Pandemi Covud 19.

BACA JUGA :   Banyuwangi Berikan Kemudahan Layanan Bisnis dan Investasi

Apabila yang tersisa diluar Hutang Pokok, seharusnya lebih sederhana dan tidak ada kendala dalam pemutihan Kredit.

3. Rekomendasi dan Saran
Dari berbagai info yang didapat, bahwa ide Hapus Kredit Macet UMKM dalam arti kata pemutihan, agar tidak terdata di Kredit Bermasalah SLIK OJK, dan juga karena UMKM tersebut usahanya masih memiliki prospek, merupakan sesuatu yang tidak terlalu Urgen, karena dibandingkan dengan pelaku UMKM yang belum tersentuh Perbankan, seharusnya itu menjadi skala prioritas.

Namun inisiasi baik ini tetap perlu diakomodasi, dan saya memberi saran dan rekomendasi sebagai berikut:

Kredit UMKM dibawah Rp 50 juta, tidak wajib masuk SLIK OJK, karena tidak wajib melampirkan NPWP, sehingga apabila dari 170.572 debitur yang diusulan pemutihan tersebut yang nilai kreditnya dibawah Rp 50 juta, akan hilang dari catatan kredit bermasalah, namun tetap menjadi kewajiban debitur meskipun sudah dilakukan Hapus Tagih.

Apabila diyakini bahwa UMKM yang diusulkan pemutihan tersebut usahanya masih memiliki prospek, langkah sederhananya, setelah Hapus Tagih dan masih memiliki sisa baik hutang pokok, non hutang pokok ataupun piutang subrogasi dengan nilai diatas Rp 50 juta, cukup dengan usulan keluarkan dari SLIK OJK, dan buat pernyataan dari debtur tersebut untuk kembali melakukan angsuran kewajiban dalam jangka waktu sesuai kemampuannya. Diharapkan apabila debitur kembali mendapat kredit, maka akan mampu mencicil kewajiban sebelumnya juga.

Harapan untuk tetap menjadi MORAL HAZARD dan agar terhindar dari banyak UMKM yang meminta fasiltas yang sama (pemutihan) di kemudian hari.

Penulis adalah Kepala Badan Pengembangan UMKM dan Koperasi Kadin Indonesia

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI

error: Content is protected !!