Pengangkatan 6.139 Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) oleh Pemerintah Kota Tangerang Selatan pada 30 Juni 2025 menjadi tonggak bersejarah bagi ribuan pegawai yang sebelumnya berstatus honorer.
Namun di balik euforia pelantikan dan pengambilan sumpah, muncul percakapan lain yang tak kalah hangat: soal pinjaman bank dengan jaminan Surat Keputusan (SK).
Tak bisa dipungkiri, status baru sebagai PPPK membuka peluang akses keuangan yang lebih luas. Salah satunya adalah pinjaman dari bank daerah dengan menggunakan SK pengangkatan sebagai jaminan.
Angka yang ditawarkan pun menggiurkan, mulai dari puluhan hingga seratus juta rupiah. Namun, di sinilah persoalan bermula: antara kebutuhan dan kehati-hatian, banyak pegawai dihadapkan pada dilema keuangan yang tidak ringan.
Di Balik Gaji Pokok dan Skema Kredit
Secara umum, gaji pokok PPPK lulusan SMA berada di kisaran Rp 2,5 juta per bulan, belum termasuk tunjangan keluarga, kesehatan, kinerja, dan beras.
Sementara lulusan strata satu (S1) mendapat gaji pokok sekitar Rp 3,2 juta. Kenaikan ini memang terasa signifikan dibanding saat masih menjadi honorer, namun realitanya masih jauh dari cukup jika harus menanggung cicilan pinjaman.
Salah satu skema yang ditawarkan oleh bank daerah adalah pinjaman sebesar Rp100 juta khusus bagi pegawai lulusan SMA, dengan tenor selama lima tahun. Namun, skema ini menyisakan banyak catatan. Cicilan per bulannya mencapai sekitar Rp2,3 juta, yang praktis hanya menyisakan Rp200 hingga Rp300 ribu dari gaji pokok untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Jika diamati dari total pengembalian, peminjam harus melunasi sekitar Rp138 juta dalam lima tahun—yang berarti terdapat beban bunga sebesar Rp38 juta. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran, karena alih-alih menjadi solusi, skema pinjaman ini justru berpotensi menjerat pegawai dalam tekanan finansial jangka panjang.
Bagi lulusan S1, pinjaman bisa mencapai Rp 115 juta. Namun, cicilan bulanan pun naik menjadi sekitar Rp 2,6 juta, dengan total pengembalian sekitar Rp 158 juta.
Jika dihitung secara kasar, beban bunga yang ditanggung per bulan bisa mencapai lebih dari Rp 600 ribu. Angka ini jelas bukan jumlah kecil, apalagi jika gaji pokok menjadi satu-satunya sumber pemasukan, sebelum ada kejelasan besaran tambahan penghasilan pegawai.
Bank Dominan dan Praktik yang Dipertanyakan
Lebih jauh, persoalan ini menjadi semakin kompleks dengan munculnya kecenderungan dominasi dari salah satu bank daerah yang tampak begitu aktif menawarkan produk pinjaman kepada PPPK.
Bahkan, dalam beberapa kasus, pihak bank sudah hadir di lokasi pelantikan untuk langsung memasarkan layanan mereka. Kondisi ini menimbulkan kesan seolah terdapat kerja sama tidak tertulis antara pihak bank dan instansi terkait.
Situasi tersebut wajar jika kemudian menimbulkan pertanyaan dari sisi etika: apakah pegawai benar-benar memiliki kebebasan dalam memilih layanan keuangan yang paling sesuai, atau secara halus diarahkan ke satu pilihan tertentu?
Bila ruang pengambilan keputusan telah dibatasi sejak awal, maka bukan tidak mungkin muncul potensi konflik kepentingan yang bisa merugikan pegawai secara jangka panjang.
Kesenjangan Antara Pegawai
Isu keadilan dalam sistem PPPK terus menjadi sorotan dan kerap mencuat dalam berbagai perbincangan. Banyak pegawai yang telah mengabdi puluhan tahun di kecamatan dan kelurahan, dengan tingkat pendidikan yang bervariasi, mulai dari setara SMA hingga lulusan S1.
Namun tetap menunjukkan dedikasi dan loyalitas tinggi. Di sisi lain, sejumlah PPPK baru yang umumnya merupakan lulusan S1 justru belum tentu memiliki pengalaman kerja yang sebanding.
Ironisnya, meski terdapat perbedaan nyata dalam hal pengalaman dan kontribusi, gaji pokok yang diterima tetap disamaratakan. Kondisi ini menimbulkan kegelisahan dan pertanyaan besar tentang keadilan dalam pemberian penghargaan atas pengabdian dan pengalaman kerja yang telah dibuktikan selama bertahun-tahun.
Kondisi ini rawan menimbulkan friksi. Apresiasi terhadap loyalitas dan pengabdian jangka panjang seolah terabaikan. Pemerintah kota perlu merespons ini dengan kebijakan afirmatif agar tidak menimbulkan ketimpangan yang bisa merusak semangat kolektif kerja di lingkungan birokrasi.
Ironi Gaji PPPK vs UMK
Fakta yang lebih mencengangkan: gaji pokok PPPK justru masih berada di bawah Upah Minimum Kota (UMK) Kota Tangsel tahun 2025 yang mencapai Rp 4.974.392.
Bandingkan dengan sektor swasta yang wajib mengikuti UMK tanpa mempertimbangkan latar pendidikan. Pemerintah, dalam hal ini, justru belum mampu menjadi teladan dalam memberikan kompensasi yang layak bagi pegawainya sendiri.
Biaya hidup di Kota Tangsel pun tidak murah. Misalnya saja, harga sewa kost bisa mencapai Rp 1 hingga Rp 3 juta per bulan, apartemen Rp 3 hingga Rp 7 juta, dan rumah kontrakan lebih tinggi lagi.
Belum lagi biaya makan, transportasi, dan kebutuhan harian lainnya yang bisa menyentuh Rp 2 juta per bulan. Jika sebagian besar gaji sudah habis untuk cicilan, maka bagaimana pegawai bisa hidup layak?
Tunjangan dan Pembinaan yang Belum Jelas
Hingga kini, rumusan tunjangan kinerja bagi PPPK masih menjadi teka-teki. Padahal, tunjangan ini sangat dibutuhkan untuk menyeimbangkan beban pengeluaran.
Meski disesuaikan dengan kemampuan anggaran daerah, namun keterbukaan informasi sangat penting agar pegawai tidak terus berada dalam ketidakpastian.
Lebih dari itu, pembinaan terhadap PPPK mutlak diperlukan. Bukan hanya soal teknis pekerjaan, tapi juga manajemen keuangan pribadi, etika pelayanan publik, dan pemahaman terhadap tanggung jawab anggaran.
Tanpa pembekalan yang cukup, risiko terjadinya keluhan bahkan cibiran dari masyarakat sangat besar. Apalagi jika mereka ditugaskan di posisi strategis namun belum sepenuhnya siap.
Menjadi PPPK adalah langkah maju dalam karier ribuan pegawai di Tangsel. Namun langkah ini harus dibarengi dengan kehati-hatian dan pengelolaan kebijakan yang bijak.
Pinjaman bank berbasis SK memang tampak menjanjikan, namun berpotensi menjadi jerat utang berkepanjangan jika tak dihitung dengan matang.
Di sinilah peran pemerintah daerah menjadi krusial membuat regulasi yang adil, menjamin transparansi, dan menyusun strategi pembinaan berkelanjutan.
Tanpa itu semua, harapan akan masa depan cerah bisa berubah menjadi beban panjang yang menggerus kesejahteraan para pegawai yang baru saja diangkat.
Oleh: Sudin Antoro
Penulis adalah Ketua Ikatan Media Online (IMO)-Indonesia DPW Banten