Putraindonews.com-Jakarta | Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menekankan pentingnya Revitalisasi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sebagai Bagian Dalam Struktur Hukum dan Politik Hukum di Indonesia. Kehadiran Ketetapan (TAP) MPR bisa menjadi “pintu darurat” terhadap berbagai permasalahan yang belum diatur penyelesaiannya dalam konstitusi.
Misalnya tiba-tiba terjadi bencana alam berskala besar, peperangan, pemberontakan, pandemi seperti covid atau lainnya yang menyebabkan Pemilu tidak dapat diselenggarakan tepat pada waktunya sesuai perintah konstitusi. Lembaga mana yang berwenang menunda pelaksanaan Pemilu? Bagaimana pengaturan konstitusional-nya jika Pemilu tertunda, sedangkan masa jabatan anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD selesai per 1 Oktober dan masa jabatan presiden/wakil presiden selesai per 20 Oktober setiap lima tahunnya. Lembaga mana yang berwenang memperpanjang jabatan-jabatan yang dihasilkan pemilu tersebut?
“Presiden-wakil presiden bersama para menteri kabinet termasuk Triumvirat Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan juga selesai per 20 Oktober. Tersisa hanya Panglima TNI dan Kapolri yang tidak memiliki kewenangan mengisi kekosongan kekuasaan kepresidenan. Berbagai masalah ini belum ada jalan keluar konstitusional-nya setelah beberapa kali perubahan UUD NRI Tahun 1945, sehingga bisa menyebabkan negara mengalami kekosongan kekuasaan,” ujar Bamsoet dalam Ujian Proposal tesis S2 Magister Hukum Universitas Jayabaya, secara virtual, di Jakarta, Rabu (29/5/24).
Hadir antara lain, Pembimbing I Atma Suganda, Pembimbing II Hedwig Adianto, Penguji sekaligus Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Jayabaya Wira Franciska, serta Penguji Yuhelson.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, dari berbagai kajian maupun pendapat para ahli hukum tata negara, menekankan pentingnya MPR RI sebagai representasi rakyat yang terdiri dari Anggota DPR RI dan DPD RI bisa kembali memiliki kewenangan mengeluarkan TAP MPR RI yang tidak hanya bersifat beschikking melainkan juga regeling. Sebagai pintu darurat manakala terjadi kedaruratan konstitusi sehingga Indonesia tidak mengalami kekosongan kekuasaan. Sekaligus mampu mengatasi kebuntuan politik antar lembaga negara atau antar cabang kekuasaan, hingga kondisi kedaruratan kahar fiskal dalam skala besar.
“Sejarah dunia mencatat banyak negara hancur karena kekosongan kekuasaan. Misalnya keruntuhan Yugoslavia yang disebabkan kekosongan kekuasaan pasca meninggalnya Presiden Josep Broz Tito. Kekosongan kekuasaan di Yaman setelah Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi mengundurkan diri dari jabatannya pada 22 Januari 2015, diikuti pengunduran diri Perdana Menteri Khaled Bahah juga memperburuk kondisi Yaman yang tengah dilanda kekacauan dan kerusuhan etnis,” jelas Bamsoet.
Ketua Dewan Pembina Depinas SOKSI (Ormas Pendiri Partai Golkar) dan Kepala Badan Polhukam KADIN Indonesia ini menerangkan, Somalia juga sempat mengalami kevakuman pemerintahan selama kurang lebih 15 tahun. Pasca tergulingnya rezim Jenderal Siad Barre pada tahun 1991, banyak kelompok oposisi yang mengincar posisi pemerintahan, sehingga memicu pecahnya perang saudara. Tanpa pemerintahan sentral yang beroperasi, hukum maupun peraturan pemerintah pun menjadi tidak berlaku.
“Menyebabkan Somalia terjerumus dalam jurang kemiskinan yang sangat parah, di samping meningkatnya ancaman terorisme. Begitupun dengan invasi Amerika bersama negara sekutunya ke Irak tahun 2003 yang berdampak pada kekosongan kekuasaan. Setelah berakhirnya pemerintahan Saddam Hussein, terjadi perang saudara di Irak, yang memperburuk permasalahan sosial, ekonomi, dan politik,” pungkas Bamsoet.Red/HS