PUTRAINDONEWS.COM
BALI | Ketua MPR RI Bambang Soesatyo memaparkan untuk menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) diperlukan amandemen terbatas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Hanya akan ada penambah ayat di Pasal 3 dan Pasal 23 UUD NRI 1945 dalam amandemen terbatas UUD NRI 1945.
“Penambahan satu ayat pada Pasal 3 yang memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan PPHN. Sementara penambahan satu ayat pada Pasal 23 mengatur kewenangan DPR menolak RUU APBN yang diajukan presiden pasca 2024 apabila tidak sesuai PPHN. Selain itu tidak ada penambahan lainnya dalam amandemen kelima UUD NRI 1945. Termasuk, wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode ataupun perubahan sistem presidensial. Justru kita perkuat, dari visi-misi presiden menjadi visi-misi negara melalui PPHN,” ujar Bamsoet dalam Diskusi Akademik ‘Urgensi Amandemen Terbatas Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) untuk Kesinambungan Pembangunan’, di Universitas Ngurah Rai, Bali, Senin (10/5/21).
Turut hadir pejabat struktural Universitas Ngurah Rai, antara lain Rektor Ni Putu Tirka Widanti, Wakil Rektor I Gede Sumarda, Wakil Rektor III Dewa Made Karsa, Direktur Pascasarjana Nyoman Diah Utari, Dekan Fakultas Hukum I Wayan Putu Sucana, Dekan Fakultas Sains dan Teknologi I Gusti Made Sudika, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Gede Wirata, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Ade Maharani. Hadir pula Ketua Yayasan Jagadhita Denpasar Anak Agung Gde Raka serta para mahasiswa Universitas Ngurah Rai.
Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan pasca amandemen keempat konstitusi, fungsi Garis Besar Haluan Negara (GBHN) digantikan dengan UU Nomor 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU Nomor 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025. Sementara penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) berlandaskan visi dan misi calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
“Hal ini justru tidak memberikan jaminan bahwa satu periode pemerintahan akan melanjutkan program pembangunan yang sudah dilakukan pemerintahan periode sebelumnya. Sebagai gambaran analogi sederhana, kebijakan pemindahan Ibu Kota Negara yang pembangunannya dimulai pada periode pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan membutuhkan waktu tidak sebentar, tidak memiliki jaminan pembangunannya akan dilanjutkan oleh presiden penggantinya” kata Bamsoet.
Ketua Umum Ikatan Motor Indonesia (IMI) ini menekankan, ketiadaan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) juga menyebabkan ketidakselarasan pembangunan nasional dengan daerah. Karena sistem perencanaan pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) tidak terikat untuk mengacu RPJMN, mengingat visi dan misi gubernur/bupati/walikota sangat mungkin berbeda dengan visi dan misi presiden dan wakil presiden terpilih. Demikian juga dengan visi dan misi gubernur/bupati/walikota diantara berbagai daerah lainnya.
“Terdapat sepasang presiden-wakil presiden, 34 pasang gubernur-wakil gubernur, dan sekitar 514 pasangan bupati-wakil bupati/walikota-wakil walikota. Seluruhnya memiliki visi misi masing-masing, yang terkadang bertabrakan satu sama lain. Inkonsistensi arah dan kebijakan pembangunan antara jenjang nasional dan daerah berpotensi menghasilkan program pembangunan yang bukan saja tidak saling mendukung, tetapi juga bisa saling menegasikan satu sama lain. Kedepan, visi-misi presiden, gubernur, bupati/walikota akan mengacu kepada visi misi negara sebagaimana tercantum dalam PPHN,” tandas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menerangkan, tidak heran jika berbagai kalangan mulai menyuarakan dan mendukung agar MPR RI kembali memiliki kewenangan mengubah dan menetapkan PPHN. Dukungan yang datang, antara lain dari Forum Rektor, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Forum Rektor Indonesia, serta berbagai Organisasi Keagamaan seperti Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Pengurus Pusat Muhammadiyah, hingga Majelis Tinggi Agama Konghucu.
“Hasil survei MPR periode 2014-2019 memperlihatkan sebanyak 81,5 persen responden menyatakan perlu reformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional model GBHN, dan hanya 18,5 persen yang menjawab tidak perlu. Alasan yang paling dirasakan dan yang paling dekat dengan kepentingan masyarakat adalah karena saat ini pelaksanaan pembangunan nasional dianggap tidak berkesinambungan,” terang Bamsoet.
Kepala Badan Bela Negara FKPPI dan Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menjelaskan, secara filosofis, PPHN adalah dokumen hukum bagi penyelenggara pembangunan nasional yang berbasis kedaulatan rakyat. Artinya, rakyat melalui wakil-wakilnya dalam lembaga MPR yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD, berhak merancang dan menetapkannya. Dokumen tersebut selanjutnya menjadi rujukan bagi presiden dan lembaga negara dalam menyusun berbagai program pembangunan sesuai kewenangan masing-masing.
“Secara ideologis, keberadaan PPHN dipandang mendasar dan mendesak, mengingat tidak saja proses pembangunan nasional memerlukan panduan arah dan strategi baik dalam jangka pendek, menengah dan panjang. Tetapi juga yang lebih mendasar adalah guna memastikan proses pembangunan nasional tersebut merupakan manifestasi dan implementasi dari ideologi negara dan falsafah bangsa, yaitu Pancasila,” pungkas Bamsoet. Red/Ben