Putraindonews.com, Sulsel – “Jangan bilang dirimu cerdas kalau tidak menyukai seni,” kata Prof Dr Karta Jayadi, M.Sn dalam sambutannya sebelum membuka Pameran Seni Rupa “Menerjemah Ruang” karya Amir Hafid Rimba di Etika Studio Jalan Tamalate I Makassar, Rabu, 28 Agustus 2024
Rektor Universitas Negeri Makassar (UNM), periode 2024-2028, itu menyebut seniman sebagai orang-orang kreatif yang mampu mengisi ruang dengan karya-karya mereka. Seniman, lanjut Karta Jayadi, malu kalau melakukan plagiasi. Mereka membuat karya-karya otentik untuk menegaskan kesenimanannya.
Menurut Karta Jayadi, seniman itu orang yang paling bahagia. Mereka selalu terdorong untuk berkarya meski dalam ruang yang terbatas. Di situlah justru tantangan kreativitasnya sebagai seniman. Dia mengapresiasi Rimba dan memberi selamat atas penyelenggaraan pameran seni rupa ini.
“Saya rindu juga suasana seperti ini,” ungkap Karta Jayadi di hadapan tamu dan pengunjung pameran.
Ketua Dewan Kesenian Sulawesi Selatan (DKSS), Dr Arifin Manggau, yang juga Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Alumni UNM, tampak hadir di antara tetamu. Juga hadir Dekan Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) UNM, Abdul Saman Mattaliu, M.Si., Ph.D.,Kons.
Akademisi, sejumlah perupa yang tergabung dalam Makassar Art Initiative Movement (MAIM), musisi dari Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ), penulis dan pegiat literasi dari SATUPENA Sulawesi Selatan, mahasiswa, serta komunitas ibu-ibu hadir dalam acara pembukaan.
AH Rimba, menyampaikan bahwa terakhir ia berpameran tunggal tahun 2022. Saat itu ia mengadakan Pameran Tunggal dan Open Studio bertema “Sumange na Ininnawa” bekerjasama dengan Program L Project.
Pada kesempatan itu, Rimba memperkenalkan Rusdin Tompo sebagai kurator pameran lukisannya, kali ini. Dalam istilahnya, dia bukan meminta kesediaan tapi “memaksa”. Mendengar ungkapan dengan nada canda tersebut, beberapa orang terlihat tersenyum, termasuk orang yang disebut namanya.
“Seorang perupa memang membutuhkan kurator sebagai second opinion terhadap karya-karyanya,” terang Karta Jayadi.
Peran kurator itu, antara lain, mengkritisi dan menyeleksi karya-karya yang ditampilkan. Kurator juga membuat catatan kuratorial sebagai informasi sekaligus untuk mengedukasi penikmat karya-karya seorang perupa.
Rusdin Tompo menyampaikan, kisah dirinya bisa sampai pada posisi sekarang, sebagai kurator, bukan ujug-ujug. Dia mengaku sejak Sekolah Dasar senang melukis. Minatnya pada seni rupa masih tumbuh hingga kuliah di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas). Namun ada satu sebab, yang kemudian membuat dia berhenti melukis di tahun 1988.
Disampaikan, dia sempat ragu ketika ditawarkan menjadi kurator. Namun karena sudah disampaikan oleh Rimba secara terbuka di depan para perupa MAIM, saat pameran lukisan Faisal Syarif di Artmosphere Studio, maka amanah itu pun dijalani.
“Saya memang sering ke pameran seni rupa teman-teman MAIM untuk membuat reportase kegiatan mereka,” terang Rusdin Tompo, yang juga dikenal sebagai pegiat Sekolah Ramah Anak.
Mantan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sulawesi Selatan itu, menyebut bahwa ia tetap seorang penulis. Kalaupun dia menaruh minat untuk menulis kegiatan seni rupa, itu bagian dari kegiatan literasi dan ekosistem seni rupa.
Rusdin Tompo dan AH Rimba sebelumnya pernah berkolaborasi dalam kegiatan yang memadukan seni rupa, sastra dan musik, lewat gelaran “Ngopi Itu Hak Asasi” dan “Ibu, Potret dan Puisi”. Keduanya juga jadi bagian dari kegiatan “Ini Bukan Festival” (IBF) yang merupakan pertunjukan lintas seniman. Dari segi karya, Rusdin Tompo melihat lukisan-lukisan Rimba menunjukkan sosok dirinya yang berinteraksi dengan banyak kalangan. Rimba menerjemahkan ruang sosial dan ruang kulturalnya lewat ekspresi lukisan-lukisannya.
Pameran bertema “Menerjemah Ruang” dengan sub tema “Budaya Kita Adalah Kita” memperlihatkan perjalanan proses kreatif Rimba sebagai perupa. Selain lebih 20an karya ukuran besar, pengunjung juga bisa melihat lukisan dan drawing dalam ukuran kecil yang dibuat di atas kertas menggunakan pensil.
“Rimba mengalami semacam transformasi dalam berkarya. Dia tak lagi sekadar mengejar keindahan bentuk dan presisi. Dia menikmati melukis sebagai aktivitas spiritual,” kata Rusdin Tompo, sambil menunjuk dua contoh lukisan dimaksud, yakni “Menuju Cahaya” dan “Pertarungan Malam”.
Andi Irfan Syam dari Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX menyampaikan tema “Menerjemah Ruang” bisa ditarik jauh pada lukisan figuratif sejak zaman prasejarah di gua Leang-Leang, Maros. Dikatakan, dia juga mempelajari aspek ruang dan waktu dalam studi arkeologi.
Andi Irfan Syam mendorong perupa dan seniman mengakses Program Fasilitasi Pemajuan Kebudayaan dari Kemendikbudristek RI. Program ini dimaksudkan untuk mendukung revitalisasi, pemberdayaan, dan peningkatan kualitas pelestarian budaya dalam rangka
AH Rimba merupakan penerima Program Fasilitasi Pemajuan Kebudayaan dari Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX. Pameran seni rupa di Etika Studio, akan berlangsung hingga Jumat, 30 Agustus 2024.
Pada hari kedua pameran, akan ada dialog seni rupa, menghadirkan Jalaluddin Rumi dan Muhlis Lugis sebagai pemantik, dengan moderator Muh Gazali dan Alif Anggara. Ada pula perform dari kawan-kawan musisi yang tergabung dalam Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ) Makassar. Red/RT