Menakar Kebijakan ERP di Jakarta, Anthony Budiawan ; Solusi atau Kepentingan Bisnis ?

***

Putraindonews.com – Jakarta | Managing Director PEPS Political Economy and Policy Studies, Anthony Budiawan mencoba menganalisis kebijakan ERP (Electronic Road Pricing) yang rencana akan diberlakukan di DKI Jakarta.

Menurut Anthony, ERP merupakan jalan (dalam kota) berbayar, biasanya untuk mengatasi kemacetan. Kendati begitu, kata dia, ERP lebih kejam dari jalan tol bebas hambatan berbayar.

“Dalam hal jalan tol, masyarakat mempunyai pilihan apakah akan menggunakan jalan tol atau tidak, karena selalu tersedia jalan alternatif non-tol. Tetapi, dalam hal ERP, masyarakat harus melewati jalan berbayar tersebut kalau tujuannya berada di dalam kawasan ERP,” ujar Anthony, Senin (13/2).

Diketahui, kawasan yang masuk ERP cukup luas, sekitar 25 ruas jalan, mungkin bisa diperluas lagi. Tarif ERP juga termasuk mahal, antara Rp5.000 sampai Rp19.000 setiap kali masuk kawasan.

“Mungkin lebih mahal dari tarif per km jalan tol. Bahkan ada yang bilang tarif ERP bisa dinaikkan lagi, kalau perlu sampai Rp75.000,” katanya.

Adapun, jam operasional ERP juga sangat panjang, tidak tanggung-tanggung, dari jam 05:00 hingga jam 22:00, setiap hari.

“Apakah benar jam operasional yang panjang ini hanya bertujuan untuk mengatasi kemacetan? Apa ada kemacetan jam 05:00 pagi?,” ujar dia.

BACA JUGA :   Kementerian Perhubungan Menunda Sementara Penerbangan dari dan ke RRT

Menurut Pemda Jakarta, tujuan penerapan sistem ERP untuk mengatasi kemacetan Jakarta. Padahal Pemda Jakarta sudah menjalankan sistem ganjil-genap sejak 2016, untuk mengatasi kemacetan Jakarta tersebut. Lalu, kenapa sekarang mau diganti dengan sistem berbayar ERP?

Pihaknya mengatakan bahwa warga Jakarta menuntut Pemda Jakarta menjelaskan secara transparan apa dasar penerapan sistem ERP.

Pertama, Pemda Jakarta harus menjelaskan bagaimana hasil pelaksanaan sistem ganjil-genap selama ini, apakah sudah ada evaluasi dan kajiannya? Kalau sistem ganjil-genap ternyata gagal mengatasi kemacetan, sehingga mau diganti dengan sistem ERP, Pemda Jakarta harus menyatakan secara terbuka kepada publik bahwa sistem ganjil-genap, yang sudah menyusahkan warga Jakarta, sebagai kebijakan gagal.

Selama tidak ada evaluasi dan pernyataan bahwa sistem ganjil-genap gagal, Pemda Jakarta tidak berhak menerapkan sistem berbayar ERP, karena dasar diberlakukannya kebijakan publik ini tidak jelas dan tidak kuat. Terkesan hanya untuk pengadaan proyek saja untuk “memeras” warga.

Kedua, Pemda Jakarta harus menjelaskan siapa investor sistem ERP, apakah Pemda langsung atau ada investor pihak ketiga.

BACA JUGA :   Pesawat Lion Air JT-714 Tergelincir Di Bandara Internasional Supadio, Pontianak

Kalau ada investor pihak ketiga, Pemda Jakarta harus menjelaskan bagaimana cara pengadaan sistem ERP tersebut, apakah beli putus atau bagi hasil? Pemda Jakarta juga harus mengumumkan siapa investor pihak ketiga tersebut.

Kalau bagi hasil, berapa untuk investor dan berapa untuk Pemda Jakarta? Kalau bagi hasil, pemberlakuan jam operasional ERP yang sangat panjang tersebut (jam 5:00-22:00) patut diduga untuk menguntungkan investor?

Ketiga, sistem ERP hanya diterapkan di negara maju dengan sistem transportasi sangat baik dan pendapatan (per kapita) sangat besar.

“Sistem ERP sejauh ini hanya diterapkan di Singapore, Jerman, Swedia, Inggris, dengan pendapatan per kapita pada 2021 masing-masing 72.794 dolar AS, 51.204 dolar AS, 61.029 dolar AS dan 46.510 dolar AS. Sedangkan pendapatan per kapita Indonesia pada 2021 hanya 4.333 dolar AS,” tukas dia.

“Artinya, Indonesia masuk negara berpendapatan menengah (antara bawah dan atas), sehingga tidak layak menerapkan sistem ERP. Selain juga, sistem transportasi publik Jakarta masih belum baik, masih buruk,” sambungnya. Red/HS

***

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI

error: Content is protected !!