Yogyakarta, Meutia Hatta, dan Cerita Ketinggalan Pesawat

Oleh: Rusdin Tompo

Putraindonews.com – Yogyakarta merupakan salah satu kota yang hendak saya tuju, selain Bali, setelah tamat dari SMA Negeri 2 Ambon, tahun 1987. Pilihan dua kota itu, tidak lain karena saya ingin mengembangkan bakat seni. Namun, jalan hidup saya berubah. Saya mendapat ‘tiket’ bebas tes masuk Universitas Hasanuddin (Unhas) lewat jalur PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan).

Kesempatan ke Yogyakarta akhirnya tiba ketika mengikuti Workshop Capacity Building untuk Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak dan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) se-Indonesia, kerjasama LPA Semarang dan UNICEF, di Bandungan, Semarang, tahun 2000. Bandungan yang berhawa sejuk ini berada di lereng Gunung Ungaran, merupakan kawasan puncaknya Semarang, yang mirip Malino.

Setelah kegiatan di Bandungan, banyak peserta tak langsung pulang. Sekjen Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, saya, dan beberapa teman seperti Ramses dan Mohammad Sunhaji ke Simpang Lima, makan di lesehan. Kami berpisah di sini. Ada yang ke Yogyakarta, tapi saya ikut ajakan Ramses dan Mohammad Sunhaji ke Solo. Setelah itu kami ke Yogyakarta bertemu lagi dengan teman-teman sesama peserta kegiatan di Bandungan.

Pertama kali menginjakkan kaki di Yogyakarta itu tanggal 2 Agustus 2000. Sehari lagi, saya berulang tahun ke-32. Sungguh suatu kesyukuran, berada di kota yang lama saya idamkan menjelang hari istimewa. Ulang tahun saya, 3 Agustus. Saya menyampaikan kegembiraan itu kepada teman-teman, lalu mentraktir mereka cendol dawet dan bakso di depan Museum Benteng Vredeburg.

Setelah itu, kami ke Shopping Center, berburu buku murah. Di tempat yang terkenal sebagai pusat perbukuan di Yogyakarta ini, saya membeli buku “Panggil Aku Kartini Saja” karya Pramoedya Ananta Toer, terbitan Hasta Mitra (2000).

Setelah itu, saya berkesempatan ke Yogyakarta beberapa kali, untuk keperluan berbeda, dan dengan nama lembaga berbeda pula. Saya ke sana pernah atas nama LSM saya, Lembaga Investigasi Studi Advokasi Media dan Anak (LISAN), dan untuk kegiatan Forum Komunikasi Pemerhati (FKP) RRI.

BACA JUGA :   Dekranasda Kota Tangsel Studi Tiru ke Pemkot Denpasar

Atas nama LISAN, saya diundang sebagai peserta Strategic Meeting Pencegahan dan Penanganan Kerja Paksa Terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA) di wilayah pengirim dan penerima di Indonesia. Kegiatan ini merupakan kerjasama Rumpun Tjoet Njak Dien, Rumpun Gema Perempuan, dan Uni Eropa. Kegiatannya lebih dari sekali di Yogyakarta, salah satunya pada tanggal 7-9 November 2006.

Pernah saya mengikuti kegiatan di Yogyakarta terkait advokasi PRT/PRTA ini dengan membawa anak saya, San Valentino Mahatma Gandhi, yang belum genap 4 tahun. Berikutnya saya ikut kegiatan dengan Nurlan, teman dari Yayasan Peduli Indonesia (YASPINDO).

Dari Makassar ke Yogyakarta, kami transit di Bandara Internasional Juanda, Surabaya. Karena penerbangan lanjutan ke Yogyakarta delay beberapa jam, kami putuskan untuk makan siang di bandara. Sore menjelang Magrib, pesawat delay lagi. Saya dan Nurlan kembali makan sop buntut di tempat yang sama.

Setelah makan malam itu, kami ke ruang tunggu untuk mendengar informasi keberangkatan ke Yogyakarta. Terasa ada yang aneh, karena tak lagi melihat penumpang, yang satu pesawat dengan kami. Saya lalu menuju ke petugas bagian transit, menanyakan penerbangan ke Yogyakarta. Astagfirullah, ternyata pesawat kami sudah berangkat. Kasus ketinggalan pesawat, hari itu bukan hanya terjadi pada kami, juga dialami penumpang rute lainnya.

Nurlan terlihat kecewa. Dia mengajak saya membeli tiket untuk pulang ke Makassar. Namun, kalau pulang, biaya tiket kami tidak bisa di-reimburse oleh panitia. Lagi pula, tas saya ada dibagasi pesawat. Artinya, sudah terbawa ke Yogyakarta.

Beruntung ada yang menginformasikan kepada kami dengan sangat detail pilihan transportasi dari Surabaya ke Yogyakarta. Katanya, bisa gunakan kereta api atau bus. Bermodal informasi yang diberikan orang tersebut, kami lalu ke Terminal Bungurasih, Sidoarjo, untuk naik bus, malam itu juga.

Setelah menempuh perjalanan sejauh 327 km, akhirnya kami tiba subuh di Yogyakarta. Saya dan Nurlan lalu mencari taksi, melanjutkan perjalanan ke rumah ipar saya di Jalan Sidoluhur, Pujokusuman. Sekira pukul 8 baru saya ke Bandara Internasional Adisucipto untuk mengambil tas saya di bagian lost and found. Setelah pulang dari bandara, baru saya ceritakan pengalaman ketinggalan pesawat kepada ipar saya. Katanya, pantas dia heran, naik pesawat jam berapa tibanya subuh di Yogyakarta hehehe.

BACA JUGA :   Selaraskan Program Kerja Tahun 2025, Dinas Kominfo Sumut Gelar Forum Perangkat Daerah

Berkaitan dengan kegiatan advokasi PRT/PRT, ada beberapa kali saya ikuti. Salah satu yang tak terlupakan, saat mengikuti Konferensi Nasional Penghentian Traficking dan Kerja Paksa Terhadap PRT dan PRTA di Jakarta, bulan Agustus 2007. Kegiatan ini merupakan kerjasama Rumpun Tjoet Njak Dien, Rumpun Gema Perempuan, JARAK (Jaringan Advokasi Pekerja Anak) dan Uni Eropa.

Setelah kegiatan, kami audiensi dengan Bu Meutia Hatta, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, dalam Kabinet Indonesia Bersatu (2004-2009). Anak saya, Mahatma Gandhi, juga saya ajak ke kantor menteri di Jalan Merdeka Barat. Melihat ada anak kecil di kantornya, Bu Meutia Hatta dengan suara lembut bertanya, “Anak siapa ini?” Seorang teman menunjuk ke arah saya, lalu menjawab, “Dia diajak bapaknya. Malah ikut juga saat di Jogja.”

Setelah selesai melaporkan perkembangan kegiatan advokasi PRT/PRTA, termasuk perlunya undang-undang yang melindungi hak-hak mereka, kami berfoto dengan Bu Meutia Hatta. Kemudian kami berpisah.

Saya mengajak si kecil Mahatma Gandhi ke arah Lapangan Monas, yang berada tak jauh dari situ. Kami mencari bangku taman, lalu duduk menyantap nasi kotak Ayam Goreng Fatmawati. Kami juga masuk ke Monas, melihat-lihat Museum Sejarah Nasional, sebelum naik ke puncak Monas, menikmati Jakarta dari ketinggian.

Selanjutnya, kami pulang naik bus Trans Jakarta menuju kantot JARAK untuk bermalam di sana. Keesokan paginya, saya dan Mahatma Gandhi ke Blok M mengambil Damri untuk ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng. Setelah itu, terbang kembali ke Makssar.

Penulis adalah Koordinator SATUPENA Provinsi Sulawesi Selatan

 

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI

error: Content is protected !!