Ketua MPR Akui Demokrasi Transaksional Dipicu Sistem Proporsional Terbuka

Putraindonews.com – Jakarta | Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengakui bahwa praktik demokrasi transaksional atau syarat politik uang terjadi akibat sistem pemilu Indonesia yang menerapkan model proporsional terbuka.

Ia mengatakan, melalui format pemilu ini idealisme dan komitmen politik para calon anggota legislatif (caleg) untuk memperjuangkan aspirasi rakyat menjadi terkikis.

“Model transisi demokrasi ini tidak menjanjikan melembaganya demokrasi substansial yang terkonsolidasi,” kata Bamsoet sapaan akrab Bambang Soesatyo di Jakarta, Selasa (23/5).

Ia mengatakan penerapan sistem proporsional terbuka berpotensi menyebabkan persaingan para calon anggota legislatif (caleg) dalam pemilu didominasi kekuatan finansial. Pemilih tidak lagi mengutamakan kualitas dan kapabilitas para caleg sebagai pertimbangan mereka dalam menggunakan hak pilih. Bamsoet menyampaikan para pemilih kemungkinan sibuk menghitung uang yang diterima dari para caleg.

BACA JUGA :   Buka Focus Grup Discussion, Gubernur Tekankan Pentingnya Keterbukaan Informasi Pada Pemilu Tahun 2024

Hal tersebut dia sampaikan dalam Sosialisasi Empat Pilar MPR RI di Banjarnegara, Jawa Tengah, Selasa.

Ia menyampaikan selama penyelenggaraan tiga kali pemilu dengan sistem terbuka, keberadaan politik transaksional luar biasa. Hal itu, lanjutnya, merusak dan meningkatkan tindak pidana korupsi di Tanah Air.

Bamsoet menilai untuk mendapatkan kursi legislatif, caleg harus mengeluarkan uang hingga miliaran rupiah yang salah satunya dipergunakan untuk biaya kampanye.

“Yang menjadi pertanyaan adalah uang itu berasal dari mana dan bagaimana bisa mengembalikan. Ini pertanyaan sederhana dan mudah, apakah begitu banyak orang merelakan uangnya dihamburkan, lalu bekerja untuk rakyat meski uang tidak kembali? Saya tidak yakin,” kata Bamsoet.

BACA JUGA :   Tim Saksi La Nyalla Ajukan Keberatan ke KPU Jatim

Dengan demikian, menurut Bamsoet, di tengah kenyataan tersebut penilaian sebagian pihak bahwa demokrasi Indonesia di era reformasi sedang mengalami stagnasi menjadi suatu penilaian yang wajar.

Demokrasi setelah era reformasi dinilai hanya memanjakan para elite politik sehingga rakyat belum merasakan dampak dari demokrasi secara signifikan, terutama terkait dengan kesejahteraan dan kemakmuran, paparnya..

“Berdasarkan kenyataan tersebut, secara umum pascareformasi, demokrasi tidak bertambah baik. Kita sudah terjebak pada demokrasi angka-angka. Angka transaksi bukan lagi aspirasi. Kedaulatan rakyat berkembang tidak sejalan dengan kedaulatan hukum,” tandasnya. Red/HS

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI

error: Content is protected !!