Perwakilan Perempuan Tak Mencapai 30% KPU Dilaporkan Ke Bawaslu

Putraindonews.com – Jakarta | Pada Senin (13/11), pukul 11.50 WIB, Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan mendatangi Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) untuk melaporkan pelanggaran administratif oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Para Pelapor terdiri dari Anggota Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan yang telah sejak awal melakukan pengawal keterwakilan perempuan pada Pemilu 2024.

Termasuk pengujian norma keterwakilan perempuan dalam Peraturan KPU No.10 Tahun 2023 ke Mahkamah Agung (vide Putusan MA No.24 P/HUM/2023), serta Pelaporan Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu oleh Ketua dan Anggota KPU ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (vide Putusan DKPP No.110-PKE-DKPP/IX/2023).

Para Pelapor melaporkan pelanggaran administratif pemilu oleh KPU yang menetapkan Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota DPR Pemilu 2024 tidak sesuai dengan tata cara penerapan kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan sebagaimana perintah UUD NRI Tahun 1945, UU No.7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention On The Elimination of Discrimination Against Women) Pasal 245 UU No.7 Tahun 2017, Putusan MA No.24 P/HUM/2023, dan Pasal 8 ayat (1) huruf c Peraturan KPU No.10 Tahun 2023.

Pasal 245 UU 7/2017 mengatur bahwa daftar bakal calon memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen). Ketentuan tersebut dipertegas oleh pengaturan Pasal 8 ayat (1) PKPU 10/2023 menyebut bahwa “Persyaratan pengajuan Bakal Calon wajib memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) di setiap Dapil”.

Sebelumnya, ketentuan Pasal 8 ayat (2) Peraturan KPU No.10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kab/Kota terkait penggunaan rumus/formula penghitungan keterwakilan perempuan berupa pembulatan ke bawah, telah dikoreksi oleh Mahkamah Agung melalui Putusan MA No.24 P/HUM/2023 pada 29 Agustus 2023.

Putusan MA a quo memerintahkan KPU untuk mencabut Pasal 8 ayat (2) Peraturan KPU No.10 Tahun 2023 karena bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, UU No.7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi CEDAW, dan UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Namun, sampai dengan ditetapkannya DCT Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, KPU mengabaikan perintah Mahkamah Agung dalam Putusan a quo sehingga merugikan hak politik perempuan untuk menjadi calon anggota DPR dan DPRD yang menurut ketentuan Pasal 245 UU 7/2017 harus memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30%.

BACA JUGA :   Airlangga Cukup Pede Menangkan Munas Golkar Mendatang

Berbagai ketentuan yang merupakan artikulasi jaminan negara terhadap keterwakilan perempuan tersebut telah pula ditegaskan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) melalui Putusan DKPP No.110-PKE-DKPP/IX/2023 (halaman 85) yang menyebut bahwa kebijakan keterwakilan perempuan melalui affirmative action dalam konstruksi hukum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 adalah agenda demokrasi yang harus dijaga dan ditegakkan bersama, khususnya oleh Para Terlapor (KPU) selaku penyelenggara pemilu.

Hal tersebut sangat bertolak belakang dengan sikap KPU yang dalam waktu singkat langsung menindaklanjuti Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 terkait persyaratan usia dalam pencalonan pilpres dengan melakukan perubahan terhadap Peraturan KPU No.19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.

Padahal, Putusan MK a quo hanya berdampak pada satu orang saja, sedangkan Putusan MA No.24 P/HUM/2023 berdampak pada terbukanya kesempatan bagi lebih banyak perempuan untuk dapat maju sebagai calon anggota legislatif pada Pemilu DPR dan DPRD Tahun 2024.

Bukan hanya soal orang per orang sebagaimana Putusan MK a quo. Selain itu, Putusan MA No.24 P/HUM/2023 diputuskan jauh lebih awal daripada Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 yang terbit belakangan.

Dari analisis Pelapor, didapati ternyata terdapat 266 DCT dari total 1.512 DCT Anggota DPR Pemilu 2024 yang telah ditetapkan dan diumumkan KPU tidak memuat ketentuan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%.

Oleh sebabnya, berdasarkan ketentuan Pasal 460 ayat (1) UU No.7 Tahun 2017, perbuatan KPU tersebut secara nyata dapat diklasifikasi sebagai pelanggaran administratif pemilu, yaitu pelanggaran terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan tahapan pencalonan pemilu sebagaimana telah diatur dalam UU No.7 Tahun 2017 dan PKPU No.10 Tahun 2023.

Untuk itu, para pelapor dalam laporannya meminta kepada Bawaslu untuk membuat Putusan sebagaimana berikut:

1. Menyatakan Komisi Pemilihan Umum terbukti melakukan pelanggaran administratif pemilu karena menetapkan DCT Pemilu DPR tidak memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30% di setiap daerah pemilihan Pemilu Anggota DPR sebagaimana tata cara, prosedur, dan mekanisme yang telah diatur dalam Pasal 245 UU No.7 Tahun 2017 jo. Pasal 8 ayat (1) huruf c Peraturan KPU No.10 Tahun 2023 jo. Putusan MA No.24 P/HUM/2023.

BACA JUGA :   Wacana Penundaan Pemilu 2024, Ketua DPD RI LaNyalla ; Stop Membuat Gaduh !

2. Memerintahkan Komisi Pemilihan Umum untuk memperbaiki Daftar Calon Tetap Pemilu Anggota DPR, Anggota DPRD Provinsi, dan Anggota DPRD Kabupaten/Kota Tahun 2024 yang tidak memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30% di setiap daerah pemilihan sehingga sesuai dengan ketentuan Pasal 245 UU No.7 Tahun 2017 jo. Pasal 8 ayat (1) huruf c Peraturan KPU No.10 Tahun 2023 jo. Putusan MA No.24 P/HUM/2023, yakni Daftar Calon Tetap Pemilu Anggota DPR, Anggota DPRD Provinsi, dan Anggota DPRD Kabupaten/Kota Tahun 2024 memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30% di setiap daerah pemilihan.

3. Memerintahkan Komisi Pemilihan Umum untuk membatalkan atau mencoret Daftar Calon Tetap yang diajukan partai politik untuk Pemilu Anggota DPR, Anggota DPRD Provinsi, dan Anggota DPRD Kabupaten/Kota di daerah pemilihan yang tidak memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30%.

Demikian rilis ini kami buat. Para Pelapor berharap Bawaslu dapat memprioritaskan penanganan laporan tersebut dan membuat keputusan dalam waktu sesegera mungkin demi tegaknya penyelenggaraan Pemilu Serentak Tahun 2024 yang inklusif, demokratis, dan konstitusional

Berikut nama-nama pelapor:

1. Hadar Nafis Gumay – (Direktur Eksekutif NETGRIT)
2. Wirdyaningsih (Dosen FHUI, Anggota Bawaslu RI 2008-2012)
3. Wahidah Suaib (Pegiat Maju Perempuan Indonesia (MPI), Anggota Bawaslu RI 2008-2012)
4. Mikewati Vera Tangka (Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia/KPI)
5. Listyowati (Ketua Kalyanamitra)
6. Misthohizzaman (Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development/INFID)
7. Kaka Suminta (Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu/KIPP)
8.Hurriyah (Direktur Pusat Kajian Politik/Puskapol UI)
9. Khoirunnisa Nur Agustyati (Direktur Eksekutif Perludem)
10. Aji Pangestu (Manager Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat/JPPR)
11. Rotua Valentina (Ketua Dewan Pendiri Institut Perempuan)
12. Titi Anggraini (Dosen Pemilu FHUI, Wakil Koordinator Maju Perempuan Indonesia (MPI). Red/HS

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI

error: Content is protected !!