Masalah Budaya dan Pelibatan Publik dalam Penataan Ruang, Disoal Pada REFORMING#7

Putraindonews.com –  Sulsel | Dalam rangka memperingati Hari Tata Ruang Nasional Tahun 2023, Ma’REFAT Institute (Makassar Research for Advance Transformation) kembali menggelar agenda rutinnya Ma’REFAT INFORMAL MEETING (REFORMING#7). Tema yang diperbincangkan, “Catatan Kritis Penyelenggaraan Penataan Ruang di Indonesia (Perspektif Birokrat, Budayawan dan Planolog)”, yang diselenggarakan pada Ahad 19 November 2023 di Kantor LINGKAR-Ma’REFAT Kota Makassar. Menghadirkan beberapa Narasumber sebagai pemantik; Arifin S.AP., M.AP selaku Birokrat Perencana Bappeda Kabupaten Takalar, Yudhistira Sukatanya yang merupakan Budayawan dan Sastrawan Sulawesi Selatan, serta Mohammad Muttaqin Azikin sebagai Planolog yang juga Pemerhati Tata Ruang.

Hari Tata Ruang Nasional, bukan tak sengaja dijadikan momentum diskusi kali ini, tidak lain untuk lebih mengenalkan serta menumbuhkan kepedulian dan kesadaran kepada masyarakat, akan pentingnya penataan ruang dalam menjalani aktivitas kehidupan.

Tampil sebagai pemantik awal sekaligus merangkap moderator adalah Arifin, yang juga adalah Fungsional Perencana Bappeda Takalar. Ia menggambarkan secara umum tahapan perencanaan yang dilakukan menuju Visi Indonesia Emas pada tahun 2045, yakni “Berdaulat, Maju, Adil dan Makmur.” Pertanyaan mendasarnya, apakah seluruh dokumen perencanaan yang ada, terutama antara dokumen perencanaan pembangunan dan dokumen perencanaan spasial/tata ruang, telah tersinkronisasi dengan baik, sehingga tercipta harmonisasi dalam proses pembangunan yang sedang dan akan berlangsung di waktu mendatang. Hal inilah yang mesti diberikan catatan kritis dari perspektif masing-masing pemantik dalam forum diskusi ini, ungkap Arifin menutup pengantarnya.

Berikutnya, Yudhistira Sukatanya membuka paparan dengan bercerita serangkaian pengalaman mengenai apa yang dilihat dan dirasakan sebagai warga kota – yang juga sebagai budayawan dan pekerja seni – terkait perkembangan dan perubahan kondisi ruang kota di Makassar. Fenomena banjir dan kemacetan yang kerap kali dirasakan oleh warga, bisa menjadi indikator permasalahan di Kota Makassar, yang hingga kini belum terpecahkan, sambungnya. Ia juga bercerita tentang pengamatannya terhadap sisi-sisi kota yang potensial menjadi masalah sosial budaya, seperti okupasi dan perebutan ruang-ruang publik perkotaan.

BACA JUGA :   Dugaan Pungli, Eks Kasubag Humas DPRD Makassar Ajukan JC 'Kejari Jangan Tebang Pilih'

Karenanya, Yudhistira menawarkan bagaimana nilai-nilai budaya, seperti Sipakatau, Sipakainga, Sipakalabbirik, yang nyaris tak tersentuh dalam upaya penataan ruang kota selama ini. Sipakatua ialah menciptakan hubungan yang saling memanusiakan, saling menghormati, saling menghargai, saling mendukung satu dengan yang lainnya. Nilai Sipakainga, saling mengingatkan, saling menghormati dan mendengar pendapat lain dengan tulus, saling memahami guna menciptakan kerukunan bersama. Nilai Sipakalabbirik, adalah saling memuliakan pada keberadaan sesama guna menciptakan kedamaian. Dan untuk mengelola tata ruang yang lebih beradab, guna memperbaiki interaksi antar warga, pemerintah dan para pihak, maka perlu juga ditilik dari sisi sosiologis dan budaya. Salah satunya, penataan ulang tata ruang yang melibatkan partisipasi stakeholder dari unsur budaya.

Gagasan, pemikiran serta pendekatan yang diajukan oleh Budayawan termasuk pula kalangan Sosiolog, sangat penting diperhatikan oleh para Perencana dalam penataan ruang, yang memang belum banyak dipraktikkan selama ini, ujar Mohammad Muttaqin Azikin ketika memulai catatan kritisnya. Beliau menyebutkan bahwa di era VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, Ambiguoes) kini, isu penataan ruang semakin complicated. Karena, aspek non ruang, ternyata juga sangat mempengaruhi. Jadi, selain yang tampak di permukaan, juga yang ada di balik layar, seperti kebijakan penataan ruang serta komitmen pemerintah daerah dan pelaku pembangunan. Beberapa problematika penataan ruang pun diurai Muttaqin, diantaranya; tingkat literasi dan kepedulian terhadap penataan ruang yang masih sangat rendah, dilema pertumbuhan pembangunan dan kerusakan lingkungan, disparitas antar wilayah, ketidakadilan dalam pemanfaatan ruang, proses politik dan pengabaian bidang penataan ruang serta pelibatan publik dalam penataan ruang yang masih minim.

BACA JUGA :   BNPB Kerahkan Helikopter dari Kalteng untuk Padamkan Kebakaran Hutan Gunung Arjuno

Khusus menyangkut pelibatan masyarakat dalam konteks penyelenggaraan penataan ruang, baginya merupakan hal yang sangat mendasar dan krusial. Sebab, tanpa mengikutsertakan masyarakat/publik, akan menjadikan tugas Negara dalam menyelenggarakan penataan ruang menjadi tak bermakna. Karena, UU. No.26/2007 tentang Penataan ruang, dengan jelas mengatur pelibatan dan peran serta masyarakat, melalui partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Sudah tiga dekade lebih payung hukum penataan ruang telah kita punyai, sejak kali pertama diundangkan pada tahun 1992. Namun, benang kusut implementasinya masih terus terasa. Oleh sebab itu, suara kritis dan masukan-masukan berupa ide serta gagasan-gagasan produktif, mesti terus dilakukan untuk meminimalisir terjadinya problem penataan ruang di negeri ini, khususnya di daerah kita Sulawesi Selatan. Semoga diskusi dan pertukaran gagasan seperti ini, secara terus menerus mampu kita kawal bersama, demi perubahan dan perbaikan di negeri yang kita cintai ini, pungkas Muttaqin yang juga Direktur Eksekutif Ma’REFAT INSTITUTE Sulawesi Selatan.

Meski guyuran hujan dan jadwal pemadaman lampu sempat dialami pada sesi awal pelaksanaan, namun diskusi REFORMING ke-7 ini tetap berjalan dengan lancar, yang seperti biasanya dihadiri berbagai latar, yaitu; akademisi, peneliti, aktivis NGO, ASN, usahawan muda, tenaga pendidik serta mahasiswa. Red/RT

BERITA TERKAIT

BERITA TERKINI

error: Content is protected !!